Sabtu 07 Mar 2020 02:06 WIB

LIPI: RUU Ketahanan Keluarga Tumpang Tindih dengan UU Lain

Peneliti LIPI menilai RUU Ketahanan Keluarga tumpang tindih dengan UU lain.

Draf RUU Ketahanan Keluarga.
Foto: Republika
Draf RUU Ketahanan Keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Augustina Situmorang mengatakan, banyak pasal dalam naskah Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang tumpang tindih dengan undang-undang lain yang sudah berlaku di Indonesia. Ia juga menilai, RUU Ketahanan Keluarga berpeluang kontraproduktif.

"Misalnya Pasal 29 Ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan hak cuti melahirkan dan menyusui bagi perempuan selama enam bulan," kata Augustina dalam taklimat media yang diadakan di Jakarta, Jumat (7/3).

Baca Juga

Augustina mengatakan pasal tersebut akan tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, hak cuti melahirkan dan menyusui bagi pekerja perempuan adalah tiga bulan.

Selain tumpang tindih, Augustina menilai pasal tersebut berpeluang untuk menghambat peluang perempuan untuk berperan di ranah publik, misalnya karier dalam pekerjaan.

Menurut Augustina, pasal tersebut akan menjadi alasan kuat bagi kelompok yang berpandangan konservatif untuk mendorong perempuan untuk lebih banyak mengambil peran domestik.

"Pasal tersebut juga akan membuat perusahaan untuk tidak menempatkan perempuan dalam jabatan-jabatan strategis karena dia bisa cuti selama enam bulan. Bayangkan kalau dia melahirkan dua atau tiga kali," tuturnya.

Augustina mengatakan penelitian yang dilakukan LIPI menemukan bahwa ibu yang bekerja sama sekali tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.

"Yang menjadi alasan terbanyak seorang ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah ASI tidak keluar, yaitu 62,7 persen. Alasan ibu bekerja hanya 6,1 persen," katanya.

Di sisi lain, RUU Ketahanan Keluarga juga berpeluang kontraproduktif karena seperti tidak percaya dengan kesetaraan gender dan terlalu mengatur ruang privat warga negara.

"Contohnya dalam pengaturan peran suami istri. Dalam konteks pembagian peran keluarga, pada dasarnya masing-masing keluarga memiliki strategi yang telah disepakati bersama," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement