Kamis 05 Mar 2020 09:52 WIB

Malaysia; Friksi Politik Melayu

Politik Malaysia dikuasai puak Melayu sejak mencapai kemerdekaan.

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Akhirnya bukan Ibrahim atau Mahathir Mohamad yang menjadi perdana menteri kedelapan Malaysia. Tetapi adalah Muhyiddin Yassin, presiden Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM), yang dilantik Raja Yang Dipertuan Agung XVI al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin al-Mustafa Billah Shah sebagai PM baru negara jiran (1/3/2020).

Apakah kegaduhan politik Malaysia dalam hampir dua pekan terakhir akan berakhir? Tampaknya belum. Pertarungan politik kelihatan masih bakal berlanjut yang melibatkan, terutama tiga tokoh puncak politik Melayu yang boleh jadi identik dengan ‘politik Islam’, yaitu PM Muhyiddin Yassin, mantan PM Mahathir Mohamad, dan aspiran PM Anwar Ibrahim.

Kekisruhan politik Malaysia bermula dengan pengunduran diri PM Mahathir Mohamad (24/2/2020). Mahathir menyerahkan ‘jawatan’ (bukan ‘jabatan’ yang dalam bahasa Malaysia berarti ‘kantor’) karena hilangnya mayoritas Koalisi Pakatan Harapan (PH) di parlemen ketika 11 anggota parlemen dari PKR (Parti Keadilan Rakyat, partainya Anwar Ibrahim) dibawa Azmin Ali keluar dari koalisi PH.

Manuver ini diikuti anggota parlemen dari PPBM yang menginginkan Mahathir tetap menjadi PM; tidak menyerahkan ke Anwar Ibrahim. PPBM ditubuhkan Mahathir menjelang Pilihan Raya Mei 2018 dulu berkoalisi dengan PKR, DAP (Democratic Action Party, partai puak Cina) dan Parti Amanah. Koalisi PH ini berhasil menumbangkan PM Najib Razak, terduga korupsi dalam jumlah besar One Malaysia Development Berhad (1MDB).

Kembali menjadi PM setelah malang melintang sebagai PM sepanjang 1981 sampai 2003. Mahathir menjanjikan transfer kekuasaan kepada Anwar Ibrahim di tengah masa kekuasaan sejak 2018. Mengundurkan diri dan diangkat Yang Dipertuan Agung menjadi PM Interim sampai terpilih PM baru, Mahathir malah ingin kembali menjadi PM dengan koalisi baru.

Oleh karena itu, Mahathir menyebut Muhyiddin Yassin, keturunan Jawa-Bugis, yang telah dilantik Yang Dipertuan Agung sebagai ‘pecundang yang mengkhianatinya’. Muhyiddin menolak disebut pecundang atau pengkhianat. Sementara itu, bersama Anwar Ibrahim, Mahathir menolak menghadiri pelantikan Muhyiddin sebagai PM baru Malaysia.

Nasib tidak menentu dialami Anwar Ibrahim. Setelah dikhianati kalangan partainya sendiri, Azmin Ali dkk dan cenderung ditinggalkan Mahathir dalam kegaduhan politik yang terjadi, belum diketahui pasti langkah Anwar Ibrahim. Boleh jadi dia kembali bersekutu dengan Mahathir untuk mengajukan mosi tidak percaya pada PM Muhyiddin Yassin yang rencana diajukan kepada parlemen pada 7 Maret nanti. Para anggota parlemen sendiri terbelah dalam kegaduhan.

Secara retrospektif, kegaduhan politik terakhir ini memperlihatkan semakin terfragmentasinya politik puak Melayu. Fragmentasi ini jelas memperlemah daya tawar dan leverage puak Melayu yang identik dengan Islam berhadapan dengan dua kelompok komunal besar lain: Cina dan India.

Secara demografis, puak Melayu-Muslim mencapai antara 55-60 persen dari total penduduk 32,6 juta (2019). Sedangkan puak Cina sekitar 23 persen dan keturunan India sekitar delapan persen. Sisanya, puak suku asli seperti Dayak dan suku asli lain.

Politik Malaysia secara tradisi dan konvensi dikuasai puak Melayu sejak negara Federal Malaysia mencapai kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 31 Agustus 1957. Sejak saat itu sampai 2018, kuasa politik Melayu-Islam adalah United Malay National Organization (UMNO) yang berkoalisi dalam Barisan Nasional (BN) dengan Malaysian Chinese Association (MCA) dan Malaysian Indian Congress (MIC).

Jika politik dikuasai Melayu-Muslim, ekonomi hampir sepenuhnya dikuasai warga Cina. Kekisruhan politik berikutan dengan Pilihan Raya berujung pada kerusuhan 13 Mei 1969 antara puak Melayu versus Cina. Dalam berbagai kajian, kerusuhan ini disebabkan sentimen rasial terkait dominasi puak Cina dalam ekonomi Malaysia.

Untuk mencegah terulangnya kerusahan rasial antarpuak, Mahathir sejak mulai berkuasa sebagai PM menerapkan Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang diharapkan dapat mengangkat saham ekonomi puak Melayu mencapai 20 persen dalam waktu 20 tahun. Tujuan ini tidak tercapai sampai kini.

Dalam pada itu, puak Melayu-Muslim kian terfragmentasi. Dulu hanya ada UMNO dan Partai Islam sa-Malaysia (PAS). Kini semakin terpecah ke dalam partai-partai baru semacam PKR, PPBM, Parti Amanah. Hasilnya, partai-partai Melayu gagal menjadi kekuatan mayoritas di Parlemen. Bahkan, kalangan pengamat menyatakan pemerintahan koalisi PH di bawah pimpinan PM Mahathir yang lalu pada dasarnya dikuasai orang-orang DAP daripada PKR dan PPBM. Bukan tidak mungkin kaum Melayu secara politik juga terpinggirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement