Selasa 03 Mar 2020 05:07 WIB

Logat Melayu yang Ditinggalkan

Mereka menginginkan tetap dalam bahasa Malaysia, karena logatnya lucu.

Priyantono Oemar
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Priyantono Oemar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Produser film animasi dari Malaysia menyebut 60 persen penyuka film Omar & Hana di Youtube berasal dari Indonesia. Sebanyak 70 persen tak setuju jika film itu disulih suara ke dalam bahasa Indonesia. “Mereka menginginkan tetap dalam bahasa Malaysia, karena logatnya lucu,” kata Fadilah A Rachman, sang produser, menjawab saya, Jumat (21/2).

Fadilah tak menyebut sebagai bahasa Melayu, melainkan bahasa Malaysia untuk bahasa yang digunakan di film animasi itu. Bahasa Malaysia juga berasal dari bahasa Melayu, sebagaimana halnya bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu pasar. Namun ketika menjadi bahasa Indonesia, logat Melayu tak ikut dipakai, kecuali oleh sebagian masyarakat di Sumatra yang masih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu.

Dulu sentra bahasa Melayu ada di seputar Selat Malaka. Pusat pergaulan rakyat juga ada di sekitar Selat Malaka. Namun, menurut Sutan Takdir Alisyahbana (STA), pusat pergaulan itu telah pindah ke Pulau Jawa dan terutama sekali ke Jakarta.

"Bersama-sama itu pusat bahasa Melayu yang menjelma menjadi bahasa Indonesia itu berpindah dari sekitar Selat Malaka ke tepi pantai Lautan Jawa yang oleh Tuan M Yamin diusulkan namanya diubah menjadi Lautan Indonesia," ujar STA pada 1933.

Lantas bagaimana logat Melayu lantas hilang di Pulau Jawa? Mungkin bisa dilacak dari keterangan STA. "Bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan terutama bahasa Betawi dengan jalan demikian dapat kesempatan mempengaruhi bahasa Indonesia itu lebih-lebih daripada di masa yang sudah," kata STA.

Di koran-koran Melayu-Cina yang terbit tahun 1920-1930-an di Batavia, logat Melayu masih sering dipakai. Penggunaannya yang benar-benar berangkat dari Melayu pasar, membuat koran-koran Melayu-Cina itu dinilai sebagai menyajikan bahasa yang tak ada aturannya.

Tadinya, saya menyangka penilaian ini muncul lantaran orang-orang Belanda yang hendak belajar bahasa Melayu tak mendapatkan pelajaran dari koran-koran Melayu-Cina ini, tetapi ternyata di akhir dekade 1930-an, penilaian serupa juga muncul dari orang Indonesia, yaitu Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan yang mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) pada 1933.

Karena gelisah terhadap perkembangan bahasa Indonesia di koran Melayu-Cina itu, Soedarjo rajin memunculkan istilah-istilah baru untuk mengembangkan bahasa Indonesia, dan pada 1938 ia menjadi ketua panitia Kongres Bahasa Indonesia I. Setelah adanya Sumpah Pemuda, secara otomatis bahasa Melayu yang digunakan oleh koran-koran diklaim sebagai bahasa Indonesia, termasuk bahasa Melayu yang dipakai oleh koran-koran Melayu-Cina.

MC Ricklefs mencatat baru ada 40 koran berabhasa Melayu pada 1918, tetapi telah meningkat menjadi 200 koran pada 1925 dan 400 koran pada 1928 baik harian, mingguan, maupun bulanan. Orang-orang Belanda belajar bahasa Melayu dari koran-koran Melayu-Cina, karena mereka tak membaca koran-koran berbahasa Melayu yang dikelola kalangan pribumi nasionalis.

Orang-orang Belanda, terutama yang penjadi pegawai negeri, juga terpengaruh oleh bahasa Melayu pasar. Mereka latah menggunakan kaya ‘ya’ sebagai penutup kalimat, terpengaruh oleh logat Melayu-Cina. Terutama dari kalangan perempuan, seperti kalimat semacam ini yang dicatat oleh HG Koster: “Babu saya ya, merupakan gadis terbaik ya, tapi bodoh ya, dia membuatku gila ya.”

‘Ya’ yang merupakan jawaban setuju, juga digunakan sebagai penutup kalimat penyangkalan, seperti, “Aku tidak melakukannya ya". Jadi tak melulu untuk menyatakan persetujuan, seperti, “Indonesia negara yang indah ya.”

Itulah sebabnya muncul kritik tajam terhadap bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu pasar: Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu kacau. Namun, Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh Pujangga Baru, menjawabnya dengan enteng: Kacau tapi mengasyikkan.

Penggunaan bahasa Indonesia terus dikembangkan, kendati berjalan tertatih-tatih. Di forum-forum resmi pada memilih berbahasa Indonesia, namun dalam keseharian tetap berbahasa Belanda.

Di saat itu, meski bahasa Indonesia sudah disumpahkan sebagai bahasa persatuan, toh dalam keseharian masih banyak orang-orang yang menggunakan bahasa Belanda. Bahkan, koran-koran ramai membahas banyak orang yang sepulang dari Kongres Bahasa Indonesia I yang menegaskan penggunaan bahasa Indonesia, kembali menggunakan bahasa Belanda.

Di awal-awal penggunaan bahasa Indonesia, struktur kalimat Belanda pun masih berpengaruh. Pengaruh tata bahasa dari bahasa Belanda pun terbawa dalam bahasa Indonesia. Kalimat seperti ‘Itu buku saya punya’ biasa dipakai karena pengaruh bahasa Belanda.

Bahkan, MH Thamrin harus menyusun pidatonya dalam bahasa Belanda terlebih dulu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pidato terjemahan inilah yang ia sampaikan dalam di sidang Volksraad dan Gemeenteraad ketika ia memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia.

Maka, ketika bahasa Indonesia digunakan di Volksraad dan Gemeenteraad van Batavia, orang-orang Belanda menilainya semata sebagai demontrasi dari kalangan pribumi nasionalis. Anggapan itu muncul lantaran di luar sidang, mereka kembali menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement