Rabu 26 Feb 2020 10:50 WIB

Sketsa Berbingkai Perak

Haikal baru saja kehilangan abi, kini umi pun telah kembali menghadapi Ilahi Rabbi.

Sketsa Berbingkai Perak
Foto:

Mentari memutar arah. Semburat warna senja menyala di ufuk barat. Burung-burung malam mengepakkan sayap, keluar meninggalkan sarangnya. Pohon kemboja menggugurkan daunnya.

Sunyi sepi....

Aroma taburan bunga di permakaman Muhammad Hisyam Noor merebak, menawan hati siapa pun yang menghirup aromanya. Haikal melangkah dengan gontai. Pak De Dadi, Bunda Laila, dan ketiga saudaranya sudah menunggunya.

"Haikal, pergilah dengan penerbangan terakhir malam ini ke Turki. Kabarkan pada umimu bahwa abimu telah tiada. Pak De Dadi menyerahkan sebuah kantong berisi dokumen penerbangan. Dengan itu, Haikal dapat bertemu dengan uminya yang bernama Ustazah Dania."

Lambaian selamat jalan dan senyum ketiga saudara perempuannya begitu mematri di hati Haikal. Namun, kesedihan semakin menggurat di wajahnya. Salim pertama untuk Bunda Laila dan ketiga saudaranya begitu hangat. Sebuah pemandangan baru yang membuat Pak De Dadi tersenyum.

Melewati x-ray, tas itu kembali ditambatkan di punggungnya. Tampak semakin kecil tubuh pemuda gagah itu menaiki tangga pesawat dan menghilang ditelan lambungnya.

Di dalam pesawat, pramugari menyambut para penumpang. Penerbangan Malaysia Airlines MH724 akan berangkat dan transit di Kuala Lumpur. Hanya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana. Haikal melirik arlojinya. Bersandar malas pada kursi pesawat, Haikal melanjutkan muraja'ah-nya.

Tepat pukul 11.00 waktu Kuala Lumpur, Haikal berganti pesawat, dan melanjutkan perjalanannya ke Bandara Istanbul. Sekitar pukul 11.15, pesawat akan take-off dan menempuh perjalanan sekitar 12 jam.

Perjalanan yang membosankan apabila tidak diiringi dengan muraja'ah sambil membayangkan wajah sang umi yang akan segera bertemu. Akan Haikal kabarkan pertemuan dengan abinya walau dalam hati yang hancur, namun bahagia.

Penjelasan sang umi sangat Haikal nantikan.

Haikal terpejam sesaat, kemudian mu raja'ah kembali. Terus bergantian aktivitas itu ia lakukan untuk menghalau kebosanan selama perjalanan.

Pukul 06.10 esok harinya waktu Istanbul. Haikal mendaratkan sepasang kakinya. Suhu udara mencapai 12 derajat Celsius. Haikal meregistrasi paspornya kepada petugas bandara.

Setelah itu, ia bergegas mencari masjid terdekat untuk menunaikan shalat subuh. Jarak antara Bandara Istanbul ke Hagia Sophia tempat Umi Haikal bermukim sekitar 40,7 km. Jadi, butuh waktu satu jam lima belas menit untuk tiba di sana.

Rindu membiru terbungkus haru, mengingat kembali wajah sang umi yang meninggalkannya saat Haikal kelas III SMP. Dengan mata terpejam, Haikal berusaha untuk mengingat kembali wajah itu.

Diingatnya kembali harum jilbab dan kerudung sang umi. Suara lembutnya, sentuhannya, dan suara wibawanya yang mengantarkan Haikal ke puncak cita-cita.

Pukul 08.30 pagi, hiruk pikuk kantor di museum Hagia Sophia begitu terasa. Sedikit sekali orang Turki di sini yang berbahasa Inggris. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa isyarat dan bahasa Turki itu sendiri.

Seorang lelaki bertubuh tegap menghampiri dan mengajaknya masuk ke dalam kantornya. Dua buah goody-bagia serahkan pada Haikal.

Haikal bertanya keheranan. Dalam prolog yang panjang dengan nash-nash Alquran yang menenangkan Haikal, kembali ia harus mengurai air mata sedihnya setelah mendengarkan penuturan lelaki bertubuh tegap itu.

Ustazah Dania telah tiada. Tepat saat ia mengumandangkan azan untuk sang abi di liang lahat.

Langit serasa runtuh. Napas tersengal bagai terganjal bongkahan batu. Haikal datang membawa sejuta tanya akan pertemuan singkat dengan sang abi. Namun, kini Umi pun telah kembali menghadap Ilahi Rabbi.

Hanya berbekal sebuah foto dan buku diary milik sang umi yang dititipkan ke rekan kerjanya. Foto dan diary inilah yang akan menjawab tanya Haikal.

Dalam tangis yang tak tertahan, Haikal membuka perlahan bungkus foto itu. Perlahan sekali, tetes air matanya tak kenal henti. Jelas sekali, Umi Dania dan Abi Hisyam ada dalam foto itu dengan gambar wajah bayi yang masih dalam bentuk sketsa.

Inikah aku yang mereka bayangkan?

Keterangan:

*) musyawarah pimpinan kecamatan.

**) musyawarah pimpinan daerah.

TENTANG PENULIS: SUZI, merupakan nama pena Susilowati (46 tahun). Ia lahir di Desa Pesisir Panimbang, Banten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement