Ahad 23 Feb 2020 10:25 WIB

Jalan Becek Jalan Pemimpin

Sudah saatnya kampung-kampung pribumi menjadi kampung yang layak.

Priyantono Oemar
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Priyantono Oemar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Kasman Singodimedjo pernah memanggul sepeda ketika berkunjung ke rumah Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Senen, pada 1925. Berangkat dari asrama Stovia di Gang Kwini, hujan turun yang membuat sepedanya tak bisa melewati jalan tanah becek selepas Stasiun Senen.

Dari Kwini ke Stasiun Senen jalan sudah diaspal, selepas Stasiun Senen hingga memasuki Gang Tanah Tinggi jalan masih berupa tanah, yang akan becek jika hujan turun. Maka, jika hujan mengguyur Jakarta, dulu orang tak akan menyingsingkan lengan baju. Yang ada adalah menyingsingkan kain atau sarung. Lalu, buka sepatu atau sandal, agar sepatu dan sandal tidak terkena lumpur.

Een leiderweg is een lijdenweg. Leiden is lijden,’’ kata Kasman, yang saat itu masih siswa kelas 2 persiapan STOVIA. Ia mengatakan, “Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita.’’ Ia di kemudian hari menjadi ketua Masyumi dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat .

Gang Kenari adalah salah satu yang dikenal sebagai gang yang sering becek akibat guyuran hujan. Di warung milik seorang anggota Muhammadiyah di gang ini, Kasman sering mengajak Mohammad Roem makan untuk mengirit biaya hidup. Sebagai mahasiswa STOVIA, beasiswa mereka hanya 50 gulden. Untuk membayar asrama 15 gulden, 25 gulden untuk biaya makan per bulan. Untuk makan di Gang Kenari, cukup 15 gulden per bulan.

Di Gang Kenari ini ada rumah milik MH Thamrin, yang dibelinya pada 1927, yang kemudian dimanfaatkan sebagai balai pertemuan kaum pergerakan nasional. MH Thamrin lahir 16 Februari 1894 dan meninggal pada 11 Januari 1941.

Rumah Thamrin itu menjadi sekretariat Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Rakyat sering berduyun-duyun ke situ untuk mendengarkan pembahasan pergerakan Indonesia.

Tanah-tanah di Kenari dikuasai tuan-tuan tanah, tetapi jalan-jalan kampung tak diperhatikan. “Gang Kenari itu sebetulnya bukan daerah yang patut didiami manusia dari ibu kota Indonesia,’’ tulis Tabrani, pemimpin redaksi Pemandangan.

Saat menjadi anggota Dewan Kota Jakarta (Gemeenteraad van Batavia), MH Thamrin mengajukan anggaran perbaikan kampung di Jakarta. Kampung-kampung mendapat perbaikan dari anggaran itu, tapi perlu perjuangan keras untuk perbaikan di Kenari. Pemerintah Kota menyatakan juga ingin memperbaiki kampung di Kenari, namun terbentur status kepemilikan tanah. Karena itu, Dewan Kota mendesak pemerintah untuk membeli tanah-tanah di Kenari.

Pada 1936, berkat perjuangan Thamrin lewat Fraksi Nasional di Dewan Kota, anggaran perbaikan kampung yang semula hanya 60 ribu gulden dinaikkan menjadi 150 ribu gulden. Jumlah itu masih jauh dari cukup, namun perjuangan Thamrin itu perlu disambut dengan gerak nyata. Bahkan, menurut Tabrani, tidak saja aksi di Jakarta, melainkan juga di wilayah lain di Indonesia. Sudah saatnya kampung-kampung pribumi menjadi kampung yang layak. Kota bukan lagi milik bangsa Eropa, tapi milik semua penduduknya. Karenanya, kampung-kampung juga perlu ditata. Tak hanya jalan-jalannya, tetapi juga rumah-rumahnya.

Banyaknya orang menyingsingkan kain karena jalan di kampung-kampung becek, harus dihentikan. Yang diperlukan masyarakat cukup sederhana, memiliki jalan kampung yang baik, yang dapat dilewati dengan nyaman, tak perlu menyiksa diri dengan menenteng sepatu atau memanggul sepeda.

Jika sepeda dipaksa melintasi lumpur, sepeda bisa mogok karena tanah akan menempel di antara roda dan selebor, sehingga roda sama sekali tak bisa berputar, terkunci oleh tanah. Untuk menghindari itu, memanggul sepeda menjadi alasan kuat. Namun, jika telanjur sepeda mogok akibat lumpur, memanggul sepeda juga menjadi cara praktis untuk sampai tujuan. Setelah tiba di tujuan, baru membersihkan tanah dari sela-sela roda dan selebor.

Di dekade 1930-an itu, sudah lumrah kampung-kampung di belakang gedung-gedung megah itu merupakan kampung kumuh. Dari jalan raya, yang terlihat hanya gedung-gedung berarsitekturart deco, tetapi  kampung-kampung di belakangnya jauh dari gambaran indah gedung-gedung itu.

“Dengan adanya gedung yang besar-besar, rumah yang teratur rapi, maka penduduk yang tidak mampu, yang miskin, didesak ke belakang. Golongan ini seolah-olah dikurung dalam daerah, yang dikelilingi oleh gedung-gedung yang besar-besar itu,’’ tulis Tabrani.

Kampung di Gang Kenari juga digambarkan tersembunyi di balik gedung-gedung megah. “Dilihat dari luar (Jalan Kramat bukan main ramai dan bagusnya) molek, seolah-olah tidak mengandung cacat sesuatu apa,’’ lanjut Tabrani.

Menanggapi kekurangseriusan pemerintah kota menata kampung, seorang pembaca koran Pemandangan yang memakai nama Brandal menulis surat kepada Bang Bedjat, pengasuh rubrik ‘Isi Podjok”.  “Wah tolol loe, kenapa kampung-kampung yang becek suruh memperbaikin? Buat Brandal, enakan tinggal becek. Benar Djat, maklum, kalau orang jalan di tempat becek, Brandal bisa nonton … betis.”

Bang Bedjat adalah nama samaran dari Anwar Tjokroaminoto. Menanggapi surat pembaca itu, ia menyatakan orang-orang perempuan terpaksa mengangkat kain saat melintas di jalan becek. Terpaksa melanggar sopan.

“Ya kasihan, betis orang kok ditonton… Kalau mau nonton betis, boleh datang di kantor Bang Bedjat, nanti Bang Bedjat kasih lihat betis bang Bedjat sepuas-puasnya.” n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement