Ahad 16 Feb 2020 16:27 WIB

Psikolog: Perundungan Fenomena Gunung Es

Telah beberapa kali kejadian perundungan terekspos melalui video-video viral.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Bullying
Foto: MGIT3
Ilustrasi Bullying

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Noridha Weningsari mengatakan, kasus perundungan seperti fenomena gunung es. Beberapa kali kejadian perundungan terekspos melalui video-video viral, tetapi sebenarnya masih banyak peristiwa yang belum terlihat. 

"Yang terlihat atau terekspos di media hanya sebagian kecil saja, sementara di bawahnya banyak sekali kasus perundungan yang tidak diketahui, baik oleh orang tua, guru, masyarakat, terlebih media," kata Noridha, pada Republika.co.id, Ahad (16/2). 

Baca Juga

Ia mengatakan, kasus perundungan bisa terjadi pada siapapun dan pada tingkatan pendidikan apapun. Menurut dia, tidak sedikit pula perundungan yang dilakukan pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, kuliah, dan di lingkungan kerja. 

"Beberapa tahun lalu, marak video mengenai perundungan pada anak SD, SMA, dan saat ini nampaknya banyak pada anak SMP," kata dia lagi. 

Perundungan, lanjut dia, terjadi karena beberapa aspek. Namun, hal yang perlu dipahami, yakni perundungan biasa dilakukan secara berulang oleh orang yang sama dan ditargetkan pada orang yang sama pula. 

Biasanya, hal ini terjadi karena adanya persepsi dari salah satu pihak yang menganggap bahwa dirinya lebih baik dan orang lain lebih buruk. Hal ini sangat berkaitan dengan relasi kuasa. 

Faktor lainnya yang mencetuskan cara berpikir menganggap orang lain lebih buruk, di antaranya pengasuhan yang berkekerasan. "Ketidakmampuan anak untuk mengontrol apa yang dipikirkan dan dirasakan, serta menyalurkan dengan cara-cara yang dapat diterima lingkungan sosial," kata Noridha. 

Kendati demikian, lanjut dia, perilaku agresif saja tidak selalu berulang dan tidak selalu ditujukan pada orang yang sama. Ia mencontohkan, anak yang marah dan memukul temannya karena penghapusnya diambil. 

Ia mengatakan anak tidak melakukan hal tersebut pada satu anak, tetapi pada setiap anak yang mengambil penghapusnya. Perilaku agresif seperti ini dipengaruhi oleh banyak aspek, termasuk jenis kelamin, kemampuan berpikir, kontrol emosi, dan cara penyelesaian pada anak.  

Mengurangi kasus perundungan, kata dia, perlu dilakukan sejak dini atau sejak anak belum sekolah. Terkait dengan hal ini, orang tua harus memberikan banyak contoh pada anak agar perilaku agresif ini bisa berkurang. 

"Bagaimana anak belajar cara-cara penyelesaian masalah dari orang tua, bagaimana orang tua mencontohkan relasi setara di rumah maupun dengan orang di luar rumah, serta bagaimana orang tua merespons terhadap rasa frustasi yang dimunculkan anak," kata Noridha. 

Ia melanjutkan, ketika anak sudah memasuki usia sekolah, mereka akan masuk ke dalam lingkungan baru. Oleh sebab itu, penanaman nilai kesetaraan perlu ditanamkan. Anak perlu diajarkan, perbedaan tidak membuat seseorang lebih baik dari orang lain. 

Sekolah, kata dia juga perku membuat mekanisme anti perundungan dan melibatkan orang tua dalam hal tersebut. Guru juga perlu mendorong siswa-siswi bystander atau orang yang netral, tidak dirundung maupun merundung. Hal ini untuk membantu menghentikan perilaku berulang dalam siklus kekerasan.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga mengatakan, salah satu terobosan pemerintah dalam mendidik karakter anak adalah dengan melakukan survey karakter. Survei ini merupakan bagian dari perubahan sistem Ujian Nasional (UN) yang akan dilakukan pada 2021. 

"Oleh karena itu, kita melihat fenomena ini ke depan tidak boleh terjadi dan terus menerus terjadi di sekolah," kata dia. 

Melalui survei karakter, Kemendikbud berharap bisa mendeteksi secara dini untuk anak-anak yang memiliki karakter khas. Anak yang memiliki kecenderungan agresif atau kurang memahami nilai Pancasila dapat terbaca melalui survey ini. 

Di dalam yang karakter, kata dia, akan banyak berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Karakter anak juga akan bisa diperbaiki karena yang dilakukan sebelum anak lulus, atau kelas 4 SD, 8 SMP, dan 11 SMA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement