Jumat 07 Feb 2020 14:45 WIB

Bagaimana Hukum Melamar Wanita yang Sudah Dilamar?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama soal melamar wanita yang sudah dilamar.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Bagaimana Hukum Melamar Wanita yang Sudah Dilamar?. Foto: Ilustrasi lamaran
Foto: Republika/Prayogi
Bagaimana Hukum Melamar Wanita yang Sudah Dilamar?. Foto: Ilustrasi lamaran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wanita yang sudah dilamar kerap disepakati sebagai wanita yang hampir sah menjadi pasangan seseorang tertentu sebelum ada hal-hal yang menggugurkannya. Lantas, bagaimanakah hukum melamar wanita yang sudah dilamar orang?

Berdasarkan buku Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, melamar wanita yang sudah dilamar orang merupakan hal yang dilarang sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis shahih. Namun demikian, para ulama berselisih pendapat apakah larangan tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang atau tidak? Jika iya, maka dalam keadaan apa hal itu berlaku?

Baca Juga

Menurut Imam Dawud, pernikahan tersebut otomatis batal. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidak batal. Sedangkan Imam Malik memiliki tiga versi pendapat mengenai hal ini.

Pertama, pendapat beliau sama dengan Imam Dawud yakni batal. Kedua, pendapatnya sama dengan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Dan di pendapat yang ketiga, beliau berpendapat bahwa pernikahan batal jika terjadi sebelum adanya hubungan seks, dan tidak batal jika terjadi sesudahnya.

Sedangkan menurut Ibnu al-Qasim, maksud larangan tersebut adalah jika seseorang yang saleh melamar atas lamaran sesama orang yang saleh. Akan tetapi, jika seseorang yang saleh melamar atas lamaran orang yang tidak saleh maka hukumnya boleh.

Namun begitu perkara melamar atas lamaran orang lain menurut mayoritas ulama, hukumnya haram. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh al-Hafizh dalam kitab Fathul Bari. Dalam kitab tersebut dijabarkan, menurut Al-Khittabi menegaskan bahwa sebagian besar ulama ahli fikih menegaskan larangan akan hal tersebut.

Larangan dilakukan sebab mendahulukan adanya etika. Sehingga larangannya bukanlah larangan haram yang bisa membatalkan akad. Sedangkan Imam An-Nawawi berpendapat, para ulama sepakat bahwa hal tersebut merupakan larangan yang bersifat haram namun demikian mereka berselisih pendapat mengenai syarat-syaratnya.

Menurut ulama-ulama dari mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hambali, hukum raham diterapkan apabila lamaran sudah dijawab dengan tegas atau sang wali sudah merestuinya. Namun jika lamaran sudah ditolak dengan tegas, maka hal itu tidak menjadi haram.

Sedangkan Imam Dawud berpendapat, jika lelaki kedua menikahi wanita tersebut, maka akad nikahnya akan batal. Baik laki-laki itu sudah menggaulinya atau belum, akad nikahnya tetap batal. Namun demikian di kalangan ulama-ulama mazhab Maliki, masalah ini memiliki dua versi pendapat yang menyertainya.

Sebagian dari ulama mazhab ini berpendapat, akad nikah akan batal jika belum digauli, bukan sesudahnya. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat sebaliknya.

Secara keseuruhan, alasan mayoritas ulama melarang lamaran atas lamaran orang lain adalah unsur lamarannya. Sebab yang dilarang adalah lamaran itu sendiri, dan itu bukanlah merupakan syarat sahnya nikah. Untuk itulah mengapa, perbuatan ini tidak bisa membatalkan akad nikah.

Adapun hadis-hadis yang menegaskan adanya larangan tersebut antara lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Hadist tersebut berbunyi: “Dari Uqbah bin Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: seorang mukmin adalah saudara dari mukmin yang lain. Seorang mukmin tidak halal menjual atas penjualan saudaranya, dan tidak halal melamar atas lamaran saudaranya sebelum ia meniggalkannya,”.

Selanjutnya, hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam An-Nasa’i nyang bersumber dari Abu Hurairah. Hadist tersebut berbunyi: “Sesungguhnya tidak boleh melamar atas lamaran orang lain sebelum ia menikahi atau meninggalkannya,”. Larangan tersebut juga dipertegas kembali dengan hadist berikutnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam An-Nasa’i yang bersumber dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Seseorang tidak boleh melamar lamaran orang lain sebelum pelamar sebelumnya meninggalkan lamarannya, atau ia sudah memberi izin kepadanya,”.

Di sisi lain mengenai waktu lamaran atas lamaran, sebagian besar ulama berpendapat hal itu ketika ada kecenderungan dari kedua belah pihak, bukan pada awal lamaran. Hal ini berdasarkan hadist riwayat Fatimah binti Qais.

Ketika itu Fatimah datang menemui Rasulullah SAW dan menceritakan kepada beliau bahwa Abu Jahm bin Hudzaifah dan Muawiyah bin Abu Sufyan telah melamarnya. Lalu kemudian Rasulullah pun bersabda yang artinya: “Abu Jahm adalah orang yang terkenal kejam. Sedangkan Muawiyah adalah orang miskin yang tidak berharta. Oleh karena itu, menikahlah dengan Usamah saja,".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement