Rabu 29 Jan 2020 19:52 WIB

'Program Kampus Merdeka Perlu Perhatikan Sejumlah Tantangan'

Bila insentif tidak diberikan kepada dosen, kebijakan ini akan menjadi beban.

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menyatakan akan membuat sejumlah kebijakan yang dikenal dengan program 'Kampus Merdeka'.  Salah satunya, yaitu mengurangi kewajiban belajar mahasiswa strata satu (S1) di program studi atau jurusan menjadi 5 tahun. 

Perombakan ini memberikan dampak salah satunya mahasiswa secara sukarela dapat mengambil atau tidak sistem kredit semester (SKS) di luar kampus sebanyak 2 semester.  Selain itu, mahasiswa berhak menukar 20 SKS atau setara dengan satu semester berkuliah di program studi lain dalam PT yang sama. 

Pengamat Pendidikan Muhammad Nur Rizal menerangkan terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan apabila kebijakan ini direalisasikan. Pertama, menurut Rizal yang perlu diperhatikan adalah wadah payung hukum kebijakan 'Kampus Merdeka'.  Sebab, kita sering akrab dengan istilah 'ganti menteri ganti kebijakan' yang dapat berimbas pada transformasi kebijakan kampus terganggu. 

“Artinya kalau tiba-tiba menteri berganti maka menteri baru dapat mengganti dengan peraturan yang berbeda," ujar Rizal kepada Republika di Yogyakarta, Rabu (29/1). Rizal memiliki harapan kebijakan ini diwadahi dalam bentuk wadah peraturan lain, misalnya undang-undang.

Kedua, perlu diberikannya insentif kepada dosen maupun tenaga pendidik yang berperan di dalamnya. Rizal memaparkan hendaknya dosen yang sukses memberikan pendampingan kepada mahasiswa saat melakukan pemagangan diberikan nilai setara dia mengirim jurnal terindeks Scopus.

“Pengabdian masyarakat yang dilakukan selama ini diberikan peniaian setara journal indeks Scopus," papar Rizal.

Rizal menyebutkan bila insentif tidak diberikan kepada dosen maupun tenaga  pendidik, kebijakan ini akan menjadi beban bagi mereka. “Padahal dosen membutuhkan insentif dalam bentuk yang berguna untuk penilaian angka kredit dosen," tutur Rizal. 

Ketiga, program 'Merdeka Belajar' hanya bisa diciptakan jika kurikulum di kampus dan sekolah dikurangi setengahnya.  “Sehingga, dosen dan guru lebih berfokus pada interaksi antar mereka”, jelas pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini.

Ke depannya, dosen memiliki pola pikir yang menuntun pada kultur belajar yang merdeka, serta memberi ruang minat dan bakat untuk potensi anak.  Bukan sebaliknya, mengajar materi yang jumlahnya terlalu banyak. “Jadi, program baru ini sangat membutuhkan reorientasi serta pengurangan beban kurikulum," kata Rizal.

Kendati demikian, Rizal berharap kurikulum ke depan tidak hanya berorientasi pada penyiapan SDM dalam dunia kerja. Akan tetapi, kurikulum yang mengarahkan mahasiswanya mampu mengenali kekuatan diri, belajar ilmu tentang cara kerja otak, dan bersikap adaptif terhadap perubahan sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement