Rabu 29 Jan 2020 13:57 WIB

Riwayat Seorang Guru

Mengajar sama seperti organ tubuh, sangat sulit dan terasa sakit bila dilepaskan.

Riwayat Seorang Guru
Foto:

Guru seperti Mas Muni tak ada yang peduli. Honornya sedikit. Kalau ada bantuan, persyaratan administrasinya menumpuk. Itu pun belum tentu Mas lolos. Lebih baik bekerja saja seperti tetangga kita itu. "Mereka kaya-kaya, Mas," ucap istrinya suatu waktu.

"Ma! Saya mengajar tidak semata mengharap harta. Mendidik anak-anak adalah pekerjaan mulia. Meski para tetangga kita kaya, itu tidak ada artinya jika anak-anak mereka bodoh. Makanya, aku mengajari anak-anak mereka, Ma."

"Hmm, anak-anak mereka Mas Muni yang ngajari, orang tuanya enak cari duit. Akhirnya, mereka yang kaya, kita yang miskin."

"Ma, jangan seperti itu. Jika kita ikhlas, surga jaminannya."

"Surga? Hahaha."

Siang itu, terik matahari nyaris menyerupai mata jarum yang binal menggores kulit. Pepohonan diam karena angin seperti raib meninggalkan bumi. Muni berjalan gontai, memikul sepasang keranjang yang bertumpu di bahunya. Ia kerap menguap. Matanya suram dan berair, didera kelelahan karena semalam harus tidur pukul 12.00 demi menyelesaikan penilaian ulangan semester ganjil. Sementara, siang itu sepulang sekolah --seperti biasa-- ia harus keliling kampung, menawarkan diri sebagai pemetik buah kelapa. Masih ada belasan pohon kelapa yang belum ia panjat.

Ketika ia sedang beristirahat di tepi kebun, melintaslah tiga orang anak didiknya yang kebetulan sedang menempuh jalan setapak ke arah sungai. Mungkin, mereka hendak memancing atau mandi saja. Percakapannya memecah kesunyian. Tak pernah Muni sangka, setelah mereka melihat Muni yang duduk sambil mengipas tubuhnya dengan topi pandan yang ia pakai, ketiga anak didik itu mendekat dengan wajah semringah, dan gerak langkah yang takzim. Muni tahu, mereka termasuk siswa yang baik di dalam kelas.

"Bapak ada di sini?" tanya salah seorang dari mereka.

"Iya, saya di sini. Sedang istirahat sejenak sebelum bekerja kembali memetik buah kelapa milik Tuan Hamid ini," jawabnya lengkap.

"Jadi, sepulang mengajar, bapak masih bekerja seperti ini?"

"Iya."

Ketiga siswa itu saling pandang, seolah bertukar ketakpercayaan melihat gurunya harus bekerja seperti itu.

Muni terus mengipasi tubuhnya.

"Bapak kan guru?"

"Iya."

"Kenapa? Apa tidak layak bekerja sampingan seperti ini?"

Tak ada jawaban dari ketiga siswa itu kecuali hanya saling pandang, seperti masih memendam ketakpercayaan jika seorang guru harus bekerja memetik kelapa. Akhirnya, mereka pamit untuk melanjutkan perjalanan, tapi wajahnya masih diliputi perasaan kurang percaya pada apa yang dikatakan Muni.

Sepulang dari sungai, mereka lewat di jalan itu lagi. Mereka tidak sadar jika Muni masih belum pulang. Ia sedang mengobati rasa lelahnya dengan duduk sejenak pada salah satu pelepah di atas pohon kelapa itu, sembari menikmati angin pedusunan yang sejuk.

"Mungkin menjadi guru kampung yang mengajar di sekolah swasta itu gajinya tidak besar ya?"

"Katanya sih bukan gaji. Namanya honor."

"Yang namanya honor ya ala kadarnya. Kasihan Pak Muni, padahal dia sangat rajin dan telaten."

"Makanya, kalau kasihan, hargai dia saat menerangkan pelajaran, jangan banyak ngobrol."

"Ah, siapa yang ngobrol. Bukan aku kok."

Muni mendengar percakapan anak didiknya itu dari atas pohon kelapa. Ia tersenyum sekaligus berurai air mata. Dari percakapan itu, ia seperti melihat potret dirinya di selembar kertas lusuh; yang kesepian di tengah hutan, tapi ia menggenggam barang yang sangat berharga.

Hujan semalam menyisakan gerimis hingga pagi. Jalanan dusun becek dan licin.

Di beberapa bagian jalan itu, air menggenang. Sepagi mungkin, Muni berangat ke sekolah sesuai jadwal. Sepeda motor tuanya terseok-seok menempuh jalan dengan bunyi knalpot yang memekik dan menyemburkan asap, mirip orang sedang sekarat.

Jas hujan penuh sobekan yang ia pakai berkibar dikipas angin. Tapi, ia bersyukur.

Setelah diomeli istrinya, ia tetap bisa pergi mengajar. Baginya, mengajar sama seperti organ tubuh, sangat sulit dan terasa sakit bila dilepaskan.

Ia terus memacu sepeda motornya, sambil mengenang guru-gurunya dulu semasa dirinya bersekolah. Ia baru sadar, betapa banyak tantangan seorang guru hingga harus menyiapkan dada yang lebih kuat melebihi karang. Tak terasa air matanya menetes. Isaknya menyaingi derai gerimis. Ia merasa kenakalan anak didiknya saat ini adalah tunas dari kenakalan dirinya sendiri di masa lalu.

Gerimis semakin deras, karib dengan angin kencang yang menggoyang keras pepohonan, petir menyentak berkali-kali. Samar-samar, Muni telah melihat bangunan sekolah tempatnya mengajar itu agak kelabu dalam pelukan gerimis.

Perlahan, ia mengatur haluan sepeda motornya ke arah parkir. Sesekali, sebelah kakinya harus diturunkan demi keseimbangan ketika roda kendaraannya berputar dalam likat lumpur. Ketika hampir tiba di area parkir, seketika, Brakk.

Muni terjatuh bersama sepeda motornya. Keduanya berguling di atas tanah. Semua basah dan kotor. Anak didiknya menertawakannya di depan kelas. Ramai sekali.

Muni bangkit dan menegakkan sepeda motornya dengan dada yang diupayakan dingin. Ia berusaha sabar meski emosinya nyaris meledak. Dari suasana seperti itu ia memandang anak didiknya masih dengan perasaan sayang. Sebab, ia telanjur berkomitmen untuk mengajar mereka dengan hati.

Gaptim, 7 November 2019

Catatan *) RPM = Rencana pelaksanaan pembelajaran.

TENTANG PENULIS: A WARITS ROVI, Lahir di Sumenep, Madura, pada 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media nasional dan lokal. Meraih Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Buku cerita pendeknya yang telah terbit: Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Ia mengabdi pada MTs al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP al-Huda Gapura Timur, Gapura, Sumenep, Madura 69472.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement