Selasa 21 Jan 2020 05:45 WIB

Bagaimana Cashflow Ala Muslim Betawi?

Orang Betawi bisa bertahan di tengah himpitan ekonomi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Bagaimana Cashflow ala Muslim Betawi?. Foto:   Petugas PPSU menyelesaikan pembangunan Taman Budaya Betawi di Kolong Tol JORR W2 Joglo, Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (15/11).
Foto: Thoudy Badai
Bagaimana Cashflow ala Muslim Betawi?. Foto: Petugas PPSU menyelesaikan pembangunan Taman Budaya Betawi di Kolong Tol JORR W2 Joglo, Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (15/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Etnis Betawi, khususnya Muslim Betawi, mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi dengan menerapkan arus kasnya (cashflow) tersendiri. Lantas, bagaimana cashflow ala Muslim Betawi ini?

Dalam buku Belajar Ekonomi Islam karya Cecep Maskanul Hakim dijelaskan, banyak orang tidak menyadari keahlian orang-orang Betawi dalam menjaga arus kas dalam menghadapi perputaran hidup dalam bingkai ekonomi. Misalnya, kata dia, etnis Betawi memiliki keahlian memasak yang merupakan salah satu faktor yang membuat mereka bertahan dalam bidang ekonomi.

Baca Juga

Padahal, tak sedikit masyarakat dari kaum ini yang ‘tidak makan bangku sekolahan’. Lihat saja, berkat kemampuan memasak inilah, banyak tercipta jenis makanan yang merakyat dan merupakan bagian dari kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti nasi uduk, lontok sayur, hingga gado-gado.

Jika dicermati lebih dalam, orang Betawi lama umumnya memiliki sawah dan kebun yang diisi dengan berbagai tanaman. Mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Selain itu, masyarakat dari etnis ini juga kerap beternak ayam, bebek, kambing, dan ikan. Lantas, apa relevansinya dengan ekonomi modern?

Persoalan manusia modern adalah segalanya yang kerap dikaitkan dengan serba monetized. Semuanya diukur oleh uang. Tokoh PPP, Hamzah Haz, yang saat itu menjadi anggota dewan pernah memperingatkan bahwa Indonesia telah dikuasai oleh kaum moneteris, sebuah madzhab dalam ekonomi yang dikenal dengan semboyan only money matters.

Namun begitu, orang Betawi membuktikan bahwa semboyan itu sejatinya tidak lengkap. Artinya, pribahasa itu harus dilengkapi semisal, money only matters if... uang hanya berfungsi apabila ada barang. Artinya, ada barang ada uang, bukan sebaliknya.

Kalau tidak ada barang namun ada uang, siapa yang sudi makan kertas dan logam? Untuk makan, orang Betawi tidak perlu beli beras, sayuran, dan ikan karena semua sudah tersedia di sawah, kebun, dan empang. Ongkos sekolah dan ngaji anak-anak Betawi (harian) ditutupi dengan menjual telur ayam dan bebek, misalnya.

Ongkos bulanan diperoleh dari menjual mentimun, cabai, atau buah-buahan. Keperluan semesteran tersedia dari kebun kecapi, rambutan, durian, atau nangka. Sedangkan jika hendak menggelar hajatan seperti khitanan atau pernikahan, masyarakat etnis ini tinggal memotong ayam atau kambing saja.

Namun, Jakarta sudah menjadi tempat yang metropolitan. Di mana sawah, kebun, dan empang sudah sulit ditemui. Tapi lagi-lagi, masyarakat etnis Betawi tak hilang akal. Mereka membangun kontrakan agar cashflow terus berjalan.

Masyarakat Betawi percaya, menurutnya, aset yang mereka miliki bukan hanya uang. Prinsip ini telah teruji melintasi zaman. Lalu, dari mana orang Betawi mendapatkan ilmu ini sedangkan tak sedikit dari mereka bukanlah orang-orang yang berasal dari dunia akademisi?

Cecep Maskanull mengingatkan, orang Betawi ini merupakan salah satu etnis yang gemar mengaji. Di mana mereka percaya sebagaimana salah satu hadis Rasulullah SAW yang kerap dibaca di pengajian adalah ta’isa abdud-dinar, yakni celakalah para hamba uang.

Golongan yang celaka sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW itu menganggap uang adalah segalanya. Sehingga kalangan tersebut menafikan faktor lain yang kadang tak ternilai.

Ustazah Saanih dari Majelis Taklim As-Syafi’iyah mengatakan, uang memang bukan menjadi tujuan suatu hamba dalam berusaha dan berupaya dalam menjalani keseharian.

“Kalau di kita (orang Betawi) yang penting itu berkahnya. Kalau usaha, kerja, ngaji, sekolah, cari berkahnya,” kata Ustazah yang juga merupakan orang asli Betawi ini kepada Republika, Senin (20/1).

Untuk itu beliau mengimbau kepada kaum Muslimin untuk mendahulukan kebaikan dalam segala hal yang dijalankan. Baik itu dalam bekerja, bersekolah, hingga menjalankan perniagaan. Sesungguhnya Allah SWT menyukai hamba-hambaNya yang berbuat baik dan saling bermanfaat dalam langkah kebaikan.

“(Menjadi) kaya boleh, dianjurkan oleh agama. Tapi jangan sampai lupa tugas utama manusia di bumi, beribadah kepada Allah. Cuma kepada Allah kita balik (kembali),” ungkapnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement