Ahad 19 Jan 2020 09:30 WIB

Sehari Merantau

Inilah aku sirip matahari yang jelajah.

Demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Damar Pratama Yuwanto

 

Aku benar benar muak dengan sekolahku. Ini baru sehari diberi pekerjaan rumah (PR), besoknya diberi PR lagi, terkadang dua mata pelajaran diberikan PR di hari yang sama. Jika tidak dikerjakan sudah pasti akan dihukum.

Para guru seakan tidak merasakan bagaimana menjadi siswa yang disiksa. Aku memukul-mukuli buku matematika yang membuat tanganku semakin berkeringat karena tidak ada kipas angin yang cukup untuk menurunkan suhu di kamarku. Hanya kipas yang patah setengah. Tapi kalaupun aku mengeluh, aku yakin tidak akan menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Aku bagaikan telur di ujung tanduk saat besok menemui Pak Tejo, guru matematikaku.

Di sekolah sering kali aku dihukum oleh guru BP di tiang bendera karena dituduh tawuran. Padahal sering kali bukan aku yang mencari masalah lebih dulu, biasanya Hasan dan teman-temannya dari SMP M yang suka mengeroyokku dan teman temanku dengan gesper.

Sungguh tak adil hukum di sekolahku. Harusnya aku dipuji sebagai pahlawan karena menolong teman. Sungguh tak adil hukum di dunia ini, aku dan teman temanku melindungi Malin yang tengah berjalan sendirian dan dipalak oleh anak SMP M. Bahkan aku dipaksa tanda tangan di atas materai untuk tidak mengulang tawuran.

Aku berpikir setengah mampus untuk menyelesaikan PR matematikaku. Selembar kertas soal itu bagaikan berton-ton di suhu panas dalam kamarku. Agar suasana lebih lunak dan adem aku menyetel lagu Mbah Surip, kakek bertopi Jamaika, itu selalu bisa menghapus segala kepahitan dalam hidup. Aku juga membeli es lilin seharga dua ribu rupiah untuk mendinginkan suasana.

Begitulah diriku. Aku memang punya banyak masalah. Ibuku pun selalu menangis saat aku terima rapor. Ibuku ingin aku menjadi sukses di masa depan, itu sebabnya dia tak menginginkanku punya masalah di sekolah karena aku satu-satunya tulang punggung yang ia impikan di masa depan untuk menggantikan peran ayahku yang sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu tak pernah marah, hanya menangis, tapi tangisnya itulah yang kerap membekukan nyali dan langkahku.

Inilah aku

sirip matahari yang jelajah

setiap bias cuaca

sejarah daun daun memori di ujung kota

ku tak akan menghindar dari rasa takut walaupun selangkah

Untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku terutama matematika, seringkali aku menulis ulang soalnya dalam lembar jawaban, sama seperti temanku, Wildan, sang berandalan di mata guru.

"Woy, Arman lu udah beresin PR belom?" tanya Wildan teman satu gengku.

 

"Udahan gue tapi jawabannya ditulis ulang dari soalnya," jawabku.

"Sama wkwkwk, udah ngasal aja terima nasib," cetus Wildan.

Terjadi obrolan yang cukup seru antara kami berdua, tanpa kami sadari tak lama kemudian datanglah Pak Tejo, guru killer matematika, membawa tongkat penggaris kayu panjang yang siap memukul para berandalan pembangkang.

Para murid langsung mengucap salam dan tersenyum manis dengan terpaksa melihat orang yang mereka takuti ada di hadapan mata. Tapi guru yang mendapat julukan Raja Iblis dari Gunung Merapi itu hanya menjawab dengan raut wajah marah dan mata melotot, mungkin agar terlihat berwibawa.

"Assalamualaikum, Pak Tejo," ujar para murid dengan senyum kecut.

"Wa alaikum salam," dengan nada tegas Pak Tejo menjawab. "Anak anak sudah mengerjakan PR?"

Hampir seluruh siswa di kelas menjawab "sudah" karena takut terkena sabetan kayu. Tapi aku dan Wildan hanya membisu.

 

Pak Tejo pun berkeliling kelas sambil mengelus-elus penggaris kayu kesayangannya dengan mata setajam burung pemakan bangkai, ia seakan bisa mencabik dan menerkam kami, kapan saja.

 

Ramalanku benar. Ia pun langsung menghardikku bagai sambaran geledek sambil memukul mejaku dan Wildan dengan penggaris panjangnya itu.

"Mana PR-nya?" teriak Pak Tejo.

 

"I-ini, Pak," jawab kami.

Hening. Sesaat kemudian. "Kok ditulis ulang soalnya, kamu gak belajar?" hardik Pak Tejo lagi.

"Belajar Pak tapi," kami tertunduk.

"Gak usah ngomong ini buktinya," bentak Pak Tejo sambil memukul meja kami dengan kayu.

Pak Tejo pun langsung menggiring kami keluar kelas sambil menjepit telinga kami. "Berdiri kalian di sini! Dasar berandalan sekolah," gerutunya.

 

Aku sudah terbiasa dihukum. Inilah diriku apa adanya, setidaknya ini melunasi rasa puasku. Tak lengkap rasanya jika hidup tanpa tantangan, bagaikan kopi tanpa kafein.

Aku dan Wildan dihukum dan hukumannya pun akhirnya berakhir pada saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement