Kamis 16 Jan 2020 06:45 WIB

Cinta Terlarang Puji

Selalu ada tempat untuk bertaubat, dan aku masih menyisakan hati untukmu kembali.

Ilustrasi pasangan suami istri
Foto: EPA/STR
Ilustrasi pasangan suami istri

"Dia masih mencintai kamu, Puji."

Kalimat itu meluncur santai dari bibir mungil sahabatku dari SMA, Ega Putra. Perbincangan yang semula cair di rumahnya yang dibangun bergaya joglo khas Jawa Tengah pun menjadi beku. Topik pembicaraannya memang santai, soal cinta. Tapi, objek obrolan yang dipilih Ega yang membuatku menjadi gelisah.

"Tahu dari mana kamu jika dia masih mencintaiku?!"

"Eka masih menunggu kamu. Meski kamu sudah punya pasangan, hingga kini ia masih memilih sendiri, meski banyak yang mengajaknya ta'aruf, mengajaknya untuk menikah. Dia sempat bertanya tentang kamu dan keluargamu kepada aku, saat kami tak sengaja bertemu di toko buku," Ega memberondongnya dengan cerita.

Jari telunjuk tangan kananku memutar bibir cangkir berisi teh yang sudah menghangat. "Ah itu hanya pasti hanya perkiraan kamu saja," aku menghela nafas.

"Aku tak bisa terus bersamanya, Ga. Aku tak bisa terus menjadi yang dia mau. Jadi bonekanya."

"Kami berbeda sekarang," kataku melanjutkan, "dunia kami kini berbeda. Aku sudah tidak sama lagi seperti dulu, tidak sama dengan yang dulu dia cintai."

Ega terus menatap mataku. Puluhan tahun bersahabat denganku membuatnya paham betul jika ada luka mendalam yang tergambar dari mataku.

Aku terdiam. Kuseruput air teh yang tersisa separuh di dalam cangkir bercorak bunga mawar berwarna putih susu. Ratusan detik kemudian kami terdiam, hingga suara ponselku berbunyi. Pesan dari pasanganku.

"Ya sudah aku pulang dulu ya. Kapan-kapan aku mampir lagi ke sini lagi, Mas Beni sudah jemput di luar."

Aku pamit dan Ega mengantarku sampai teras rumahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement