Senin 16 Dec 2019 18:42 WIB

UGM Kembangkan Penghitung Emisi Gas Rumah Kaca Pertanian

Sektor pertanian jadi salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Sektor pertanian jadi salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar. Foto: Ilustrasi  petani membawa bawang merah di Brebes, Jawa Tengah
Sektor pertanian jadi salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar. Foto: Ilustrasi petani membawa bawang merah di Brebes, Jawa Tengah

REPUBLIKA.CO.ID,  SLEMAN -- Peneliti UGM membuat terobosan baru bidang pertanian. Mereka mengembangkan pertanian cerdas (smart farming) lewat alat yang mampu menghitung gas emisi rumah kaca yang ada di lahan-lahan pertanian.

Teknologi itu dikembangkan Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho. Pengembangan alat itu dilakukan sejak 2016.

Baca Juga

Melalui teknologi itu, dapat diketahui informasi tentang emisi gas rumah kaca. Mulai dari gas metan (CH4), karbondioksida (CO2) sampai amonium (NH4) yang dihasilkan dari lahan pertanian.

Bayu mengatakan, selama ini oritentasi pengembangan pertanian cerdas selalu ke pertanian yang diproses budidaya atau on-farmnya. Padahal, banyak data-data dari sensor yang dipasang di lahan pertanian.

Data itu bisa dipakai untuk menghitung informasi lain di luar on-farm. Kata Bayu, salah satunya menghitung emisi gas rumah kaca di lahan pertanian yang selama ini dilakukan secara manual.

Selain manual, melalui perkiraan berdasarkan data sekunder. Seperti jenis varietas yang ditanam, dan jenis pupuk lalu dicocokan dengan pedoman Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC).

"Padahal, realita di lapangan, emisi karbon yang dihasilkan bisa melebihi perkiraan," kata Bayu di Ruang Fortakgama UGM, Senin (16/12).

Ia mengingatkan, sektor pertanian jadi salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar. Emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian sekitar 24 persen dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan, dalam 50 tahun terakhir, terjadi peningkatan gas rumah kaca dari sektor pertanian hampir 100 persen. Dari 1961 sebesar 2,7 miliar ton CO2, meningkat signifikan pada 2012 menjadi 5,4 miliar ton CO2.

Melihat kondisi itu, Bayu berpikir membuat suatu perhitungan dengan memanfaatkan data dari sensor secara real time dan update. Seperti data iklim, paremeter tanah, dan pertumbuhan tanaman.

Data ini bisa dipakai untuk mengevaluasi sistem irigasi dan menghitung konsentrasi emisi gas rumah kaca. Lewat teknologi ini, dapat diperoleh data untuk menghitung emisi gas rumah kaca dari telemetri.

Selanjutnya, diolah dengan model jaringan saraf tiruan (ANN). Dari sana, lanjut Bayu, akan didapatkan nilai penurunan emsisi yang terdapat di lahan pertanian.

Alat penghitung emisi gas rumah kaca Bayu ini dibangun dengan lima sensor dalam field monitoring system (FMS). Mulai dari sensor radiasi matahari (pyranometer), dan arah dan kecepatan angin (anemometer).

Kemudian, kelembaban dan suhu udara, hujan, serta kelembaban tanah termasuk suhu dan daya hantar listrik tanah). Dilengkapi pula dengan data logger Em50 sebagai penyimpan data.

Telemetri berfungsi sebagai pengirim data dari data logger ke server otomatis setiap hari dengan memakai modem dari provider telekomunikasi di Indonesia. Ada pula kamera untuk memonitor padi dan solar panel.

Bayu menjelaskan, alat bekerja saat seluruh sensor terkoneksi dengan data logger. Pengukuran akan dilakukan secara otomatis setiap 30 menit sekali dan data akan langsung tersimpan di data logger.

Selanjutnya, data yang didapatkan akan diambil secara rutin setiap hari oleh field router dan dikirim ke server melalui jaringan internet GSM. Field router turut mengirim foto lokasi satu kali dalam sehari.

"Pengguna dapat mengakses seluruh data, baik berupa data numerik, grafik maupun gambar atau foto lewat website yang telah dibangun," ujar Bayu.

Inovasi ini telah diujicoba ke demplot budidaya padi SRI di Kabupaten Kupang, NTT, bekerja sama dengan Indonesia Climate Change Trust Fund/ICCTF Bappenas. Pada 2019, diterapkan di Kabupaten Sumba Timur.

Kemudian, pengembangan FMS di demplot yang berada di Banjarnegara dan Purbalingga. Semua itu dilakukan melalui pendanaan Konsorsium Riset Unggulan Perguruan Tinggi, Ristekdikti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement