Kamis 12 Dec 2019 17:13 WIB

Kemendikbud Diminta Perhatikan Kebutuhan Guru Produktif SMK

Salah satu masalah yang dihadapi SMK adalah kurangnya guru yang tersertifikasi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Pelatihan Batik Cap. Siswa SMKN 1 Praya Pariwisata mengikuti pelatihan membatik dengan cap di Taman Budaya  Yogyakarta, Rabu (20/11).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelatihan Batik Cap. Siswa SMKN 1 Praya Pariwisata mengikuti pelatihan membatik dengan cap di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa meminta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperhatikan kebutuhan guru SMK. Dia mengatakan selama ini salah satu masalah yang dihadapi SMK adalah kurangnya guru yang tersertifikasi. 

Di dalam kunjungan kerjanya, Ledia menemukan ada satu kabupaten yang hanya memiliki satu guru tersertifikasi.

Baca Juga

"Guru tersertifikasi cuma satu sekabupaten. Artinya, gimana anak-anak bisa terampil kalau gurunya tidak tersertifikasi," kata Ledia, pada wartawan Rabu (11/12).

Menurut Ledia, pekerjaan rumah terbesar pemerintah soal SMK adalah pengelolaan yang lebih rumit dari SMA. SMK harus terus diperbarui dan tidak menggunakan konsep pembelajaran yang biasa saja.

Program revitalisasi SMK selama ini juga dinilai belum menyeluruh. Alokasi dana revitalisasi SMK secara penuh hanya diberikan di beberapa SMK. Padahal, tiap SMK perlu dilengkapi dengan sarana prasarana yang lengkap. Walaupun begitu, Ledia menjelaskan hal ini terjadi karena keterbatasan dana.

Selain itu, lanjut Ledia, yang masih menjadi tantangan adalah bagaimana menyambungkan SMK dengan dunia usaha dunia industri (DUDI). Namun, di satu sisi guru juga harus tersertifikasi.

Ledia mendorong pemerintah pusat agar terus meningkatkan sertifikasi guru produktif. Guru produktif di SMK yakni guru yang mengajarkan keahlian khusus sesuai bidang SMK tersebut.

"Kalau guru produktif itu, umumnya kita ambil dari pusat, dari DUDI, dari swasta mereka umumnya sertified, kemudian mereka mengajar," kata Ledia.

Pendapat senada juga diungkapkan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim. Satriwan mengatakan, SMK hingga saat ini masih kekurangan guru mata pelajaran inti atau guru produktif.

Menurut dia, hal ini terjadi karena lulusan universitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) lebih tertarik bekerja di perusahaan dengan gaji yang lebih besar. "Mereka nggak mau jadi guru honor di sana (SMK) karena gaji kecil. Mending mereka kerja di perusahaan atau pabrik yang gajinya besar," kata Satriwan.

Pada akhirnya, kebanyakan yang menjadi guru produktif di SMK justru kebanyakan guru mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Ia mencontohkan guru PKn, guru bahasa, atau guru olah raga mengajar otomotif atau mengajar desain di SMK.

Sebenarnya, lanjut Satriwan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini memiliki kelebihan dari Kemendikbud sebelumnya, karena juga mengatur pendidikan tinggi. Bergabungnya pendidikan tinggi ke Kemendikbud mestinya bisa memenuhi kebutuhan guru produktif di SMK.

"Dikti sekarang kan di bawah dikbud. Kampus-kampus LPTK ini kan di bawah dikti, seperti UNJ, UPI, UNY, yang tadinya IKIP itu. Jadi, pemerintah bisa memerintahkan kepada LPTK agar lulusannya langsung ditempatkan ke SMK," kata Satriwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement