Kamis 12 Dec 2019 15:09 WIB

Urip iku Urup: Persembahan untuk Sang Pencerita Diponegoro

Buku karya Profesor Peter Carey merangkum tataran cerita Pangeran Diponegoro.

Buku Urip iku Urup karya Prof Peter Carey.
Foto: Tangkapan layar. istimewa.
Buku Urip iku Urup karya Prof Peter Carey.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rezza Maulana, peneliti / staff Laboratorium Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Membaca buku Urip Iku Urup. Tak salah lagi buku setebal 568 halaman, merupakan percikan api pertama yang berupa antologi dan berbahasa Indonesia dari nyala terang buku-buku karya Profesor Peter B R Carey, terutama magnum opus tentang Pangeran Diponegoro yang berjudul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and The End of an Old Older in Java, 1785 – 1855 (2007). Buku ini terdiri dari 24 bab yang dikelompokkan dalam lima bagian.

Dua puluh dua tulisan atau bab berasal dari karya beragam penulis dengan tema yang bervariasi dan terkait dengan studi Peter Carey mengenai Pangeran Diponegoro, antara lain; ekonomi, kesenian, etnisitas (Tionghoa), pendidikan, perempuan, dan kesusastraan. Dua bab paling awal merupakan autobiografi singkat yang ditulis sendiri plus wawancara diri di Saga Magazine dan pidato pengukuhan Prof Peter Carey sebagai professor tamu di FIB Universitas Indonesia tahun 2013.

Mengikuti apa yang dikisahkan oleh editor, Fx Domini B.B Hera, "embrio" buku ini sebenarnya telah terpantik sejak tujuh tahun lalu saat peluncuran buku edisi bahasa Indonesia magnum opus Prof Peter Carey dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2012) di Malang (hlm xxi). Namun peluncuran buku tersebut tidak hanya telah menarik dan mempertemukan sebagian kontributor buku ini, termasuk sang editor, tetapi juga telah merintis sebuah gerakan dan arah baru pemahaman jati diri bangsa yang lebih mengakar melalui penelitian dan penulisan sejarah. Seperti yang telah diteladankan oleh Prof Peter Carey dalam mendedikasikan waktu puluhan tahun untuk meneliti dan menulis sejarah Jawa modern melalui tokoh Pangeran Diponegoro.

Terangi jalan yang jarang dilalui 

Bercermin dari perjalanan hidupnya (bab 1) yang berliku dan tidak mudah; mengalami culture shock ketika tinggal di Inggris (1955-1969), mengalami sakit parah di kapal dalam perjalanan menuju Indonesia (1970), mengalami krisis moral ketika melihat pendudukan Pemerintah Indonesia terhadap Timor-Timur (sekarang Timor-Leste) karena merasakan penderitaan yang serupa dengan apa dialami oleh Pangeran Diponegoro dan masyarakat Jawa di masa Kolonial Belanda (1975-1999) dan termasuk proses penerbitan disertasi yang memakan waktu 30 tahun.

Kemudian Peter Carey bersama koleganya mendirikan Cambodia Trust yaitu lembaga amal yang membantu orang-orang yang selamat dari ranjau darat dan orang yang kurang beruntnug lainnya pada tahun 1989. Lembaga ini (Exceed Worldwide, nama sekarang) hingga sekarang tersebar ke Sri Lanka, Indonesia, Filipina dan Myanmar dimana terdapat juga fasilitas pendidikan kesehatan kejuruan bidang Prosthetics dan Orthotics (alat bantu kaki). Kemudian ia juga berpartisipasi dalam mendirikan sekolah Dharma di Brighton tahun 1993 dan pusat retret Sunyata Buddhist Center di County Clare, Irlandia tahun 2000 (hlm. 53).

Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, dalam bab lima memberikan kesaksian tentang peran penting Prof Peter Carey dalam keberhasilan memasukkan atau meregistrasikan Babad Diponegoro di Memory of the World UNESCO tahun 2013. Lebih khusus adalah kontribusi Prof Peter dalam usaha meluruskan sejarah bahwa perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro bukan semata demi tahta kesultanan melainkan demi rakyat Jawa yang miskin, tertindas oleh pajak tinggi dan teracuni oleh opium di masa kolonial.

Di samping itu adalah mengembalikan nama baik Pangeran Diponegoro dan keturunannya bahwa mereka bukanlah pemberontak dan pengkhianat kesultanan Yogyakarta yang masih terasa dibenak masyarakat Jawa. Meskipun dalam catatan sejarah masyarakat Muslim (Lapidus, 2002: 395) Pangeran Diponegoro disebut sebagai tokoh perlawanan dibawah bendera Islam, termasuk dalam registrasi MoW UNESCO yang disebut sebagai pan-Islamis, pangeran Jawa dan pahlawan nasional Indonesia, terhadap penindasan pemerintahan dan kekuasaan Belanda.

Namun, seperti yang dijelaskan oleh Werner Kraus di bab 8, dalam masa pergerakan pra kemerdekaan awal abad 20, ketokohan Pangeran Diponegoro tidak hanya menjadi simbol dan inspirasi perjuangan kebangkitan nasional oleh kelompok gerakan Islam seperti PERMI, Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Namun juga digunakan oleh kelompok gerakan nasionalis dan komunis seperti Insulinde, PNI, Taman Siswa, Sarekat Rakyat, dan PKI.

Dalam hal ini studi Prof Peter Cerey menunjukkan, kemudian dielaborasi dalam bab 17 oleh Ahmad Athoillah, bahwa di masa Pangeran Diponegoro tarekat Satariyah merupakan dominasi dalam tatanan masyarakat Jawa Tengah bagian selatan yang mendorong hukum Islam Jawa. Yang mana sebagai penganut tarekat tersebut Pangeran Diponegoro dan jaringan tarekatnya, baik dari kerabat maupun intelektual agama (kerabat keraton, ulama, pesantren, juru makam dan lainnya), berusaha melawan keterdesakan pengaruh politis dan ekonomis kolonial yang akibat terburuknya menimpa rakyat kecil. 

Masa lalu untuk masa depan

Mengikuti apa yang ditegaskan oleh Merle C. Ricklefs, sejarawan, teman dan kolega Prof Peter Cerey, di bagian akhir prakata buku ini bahwa kerja mereka sebagai sejarawan tatanan lama Jawa tidak akan sia-sia jika anak bangsa ini mampu menjawab pertanyaan tentang siapa, darimana dan mau ke mana arah perjalanan sebuah bangsa. Karena itu tepat bahwa buku ini dipersembahkan untuk generasi muda sejarawan dan sejarawati Indonesia yang akan berhadapan langsung dengan masa depan yang luas dan beragam. Yang mana keluasan jangkauan itu sudah tersirat dari studi-studi yang telah dan akan digarap Prof Peter Cerey seperti yang tersurat dalam bagian riwayat hidup dan Bibliografi Peter Cerey. Termasuk aktifitasnya sebagai kurator pameran seni rupa, pemeran dalam film dokumenter, siaran radio, tinjauan buku dan ruang akademik lainnya (hlm. 517-530).

Satu hal dari pencapaian Prof Peter Carey yang mesti ditiru oleh generasi muda yaitu etos kerjanya sebagai seorang ilmuwan. Menulis disertasi dengan kurang lebih 1000 halaman dan menerbitkan 30 tahun kemudian, serta menerbitkan 8 judul buku direntang masa tersebut, total 20 judul buku dan 109 artikel, bukanlah kerja akademik yang biasa-biasa saja. Ketekunan menelusuri arsip, kegigihan di lapangan, dan konsistensi dalam fokus kajian sampai hari ini layak menjadi model bagi sejarawan muda.

Sekiranya ada kesempatan penerbitan berikutnya, akan dapat terkumpul antologi penulis-penulis lain yang terpengaruh atau turunan dari studi Peter Carey selain tentang Pangeran Dipanegara, termasuk studinya yang membahas tentang Timor Leste dan Myanmar. 

Judul buku: Urip Iku Urup: Untaian persembahan 70 tahun Profesor Peter Carey

Editor: F X Domini B B Hera

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun: 2019 (edisi pertama)

Deskripsi: xxxix, 568 halaman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement