Sabtu 07 Dec 2019 01:28 WIB

Shalat yang tidak Khusyuk, Apakah Sah dan Diterima?

Khusyuk berarti ketenangan dan menghadirkan rasa takut kepada Allah.

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Shalat yang Tidak Khusyuk, Sah dan Diterima atau Tidak?
Shalat yang Tidak Khusyuk, Sah dan Diterima atau Tidak?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr wb

Perkenalkan nama saya Ain Nur Hidayat, kelas XII TKR SMK Muhammadiyah Sempor, saya mau bertanya saat kita shalat kita dianjurkan untuk khusyuk, namun sering kali saat shalat saya memikirkan hal lain di luar shalat. Apakah shalat saya sah dan diterima? Terima kasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr wb

Ain Nur Hidayat

disidangkan pada Jum’at, 7 Shafar 1438 H / 27 Oktober 2017 M

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr wb

Terima kasih kepada saudara Ain Nur Hidayat atas pertanyaan yang telah diajukan kepada kami. Mengenai pertanyaan tersebut sebenarnya senada dengan apa yang telah dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 mengenai shalat yang khusyuk.

Kami akan kembali mengulas dan menambahkan yang belum diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Di antara yang belum diuraikan dalam pembahasan tersebut adalah pengertian khusyuk.

Pengertian khusyuk secara bahasa berasal dari kata khasya’a yang memiliki arti diam, tenang dan merendahkan diri. Di kalangan para ulama terdapat beberapa pengertian tentang khusyuk. Menurut Ibnu Katsir ketika menafsirkan Qs Al-Mukminun ayat 2, khusyuk berarti ketenangan dan menghadirkan rasa takut kepada Allah.

Dalam kitab Subulussalam karya ash-Shan’aniy, kata khusyuk bermakna al-khudlu’ (memasrahkan diri kepada Allah) dan al-khudlu’ merupakan amalan hati, bisa juga berupa amalan badan seperti diam, baik dalam suara maupun gerakangerakan lain di luar shalat. Jadi, secara garis besar khusyuk berarti al-khudlu’ yang bermakna kepasrahan jiwa dan raga kepada Allah yang disertai dengan kerendahan hati.

Khusyuk merupakan salah satu hal yang sangat didambakan oleh setiap Muslim dalam shalatnya, sehingga kekhusyukan merupakan sesuatu yang harus diupayakan dalam shalat. Banyak penjelasan yang mengingatkan umat Islam tentang keharusan melakukan shalat dengan khusyuk.

Orang yang dapat menjalankan shalat secara khusyuk akan termasuk dalam golongan orang yang berbahagia, seperti firman Allah SwT,

1

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Qs AlMukminun [23]: 1-2).

Kata aflaha dalam ayat tersebut memiliki makna beruntung, berbahagia, dan memperoleh keberhasilan bagi mereka yang beriman serta mempunyai ciri khas, di antaranya adalah kekhusyukan dalam shalat.

Di samping bahagia, orang yang khusyuk dalam shalatnya juga akan mendapat kemudahan dan keringanan dalam menunaikan shalat, sebagaimana firman Allah SwT,

2

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Qs Al-Baqarah [2]: 45).

Selain itu perlu ditanamkan dalam diri bahwa khusyuk merupakan ruhnya shalat, yakni ketika shalat yang dilaksanakan khusyuk, maka akan mendapatkan nilai yang sempurna di mata Allah SwT, begitu pula sebaliknya. Juga ketika seseorang mampu menghadirkan ruhnya shalat yaitu khusyuk, maka dalam kehidupannya akan mampu menghindari diri dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana firman Allah SwT,

3

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Qs Al-Ankabut [29]: 45).

Sejauh pengkajian kami terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak ada yang menyebutkan secara langsung bahwa khusyuk merupakan syarat sahnya shalat. Adapun shalat seseorang akan dipandang sah secara hukum apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Di antara syarat shalat tersebut ialah, menghadap kiblat, menutup aurat, dan suci dari hadats. Adapun rukun yang harus terpenuhi ketika shalat adalah niat, takbiratul ihram, membaca surah Al-Fatihah pada tiap rakaatnya, rukuk dengan tuma’ninah (tenang dan tentram), i’tidal dengan tuma’ninah, sujud dengan tuma’ninah, duduk di antara dua sujud, duduk tasyahud sekaligus membaca doa tasyahud, membaca shalawat kepada Nabi saw dan mengucap salam.

Oleh karenanya jika syarat dan rukun tersebut telah terpenuhi maka shalat yang saudara lakukan adalah sah dan tidak perlu adanya pengulangan. Namun dengan adanya tuma’ninah dalam menjalankan shalat mengandung maksud bahwa shalat dapat dilakukan dengan sebaikbaiknya, sebagai salah satu upaya untuk memperoleh kekhusyukan.

Jika dalam shalat sering kali memikirkan hal-hal lain di luar shalat karena tidak adanya kekhusyukan, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh kekhusyukan tersebut, di antaranya;

Mengenal dengan baik siapa Allah (ma’rifatullah), mengikhlaskan shalat semata-mata karena Allah, membaca bacaan shalat secara tartil, benar, perlahan serta penuh penjiwaan, menganggap bahwa shalat yang dilakukan adalah shalat terakhir, jika pikiran terganggu segera kembali dan menyadari betul bahwa sedang menghadap Allah, kemudian perlu juga diperhatikan kondisi tubuh dan juga lingkungan yang akan dijadikan sebagai tempat shalat, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mengganggu dan memecah konsentrasi ketika shalat, seperti menyantap makanan terlebih dahulu yang telah dihidangkan sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw,

44_

“Dari Anas bin Malik ra (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda: Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jamaah sudah dikumandangkan iqamatnya, maka dahulukanlah makan” [HR. Al-Bukhari no 5042].

Perihal diterima atau tidaknya shalat, tentu semua diserahkan sepenuhnya kepada Allah SwT, karena Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menghukumi. Hal terpenting adalah umat Islam harus terus berusaha meningkatkan kualitas kekhusyukan shalatnya. Oleh karena itu hendaknya selalu memiliki semangat, kemauan, dan usaha serta berdoa kepada Allah SwT agar mampu memperoleh kekhusyukan dalam shalat.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement