Jumat 06 Dec 2019 20:00 WIB

Nasib Guru Honorer di Indramayu, Gaji Belum Cair Empat Bulan

Dinas Pendidikan Indramayu mengakui keterlambatan gaji guru honorer.

Ilustrasi guru honorer
Ilustrasi guru honorer

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lilis Sri Handayani / Wartawan Republika.co.id

Baca Juga

Rohendi (32 tahun) tampak memperhatikan murid-muridnya yang sedang mengerjakan soal ujian akhir semester satu di kelas dua SDN Jatimunggul 1, Desa Jatimunggul, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Kamis (5/12). Saat waktu ujian berakhir, puluhan muridnya pun berebut menyerahkan lembar jawaban soal-soal Tema 4 kepadanya.

Menjadi guru memang pilihan hidup yang diambil Rohendi. Meski hanya berstatus sebagai guru honorer, tak mengendurkan semangatnya untuk terus mengabdi.

Sejak pertama kali menjadi guru pada 2004, Rohendi tetap setia mengajar di SDN Jatimunggul 1. Padahal, sekolah itu termasuk salah satu sekolah yang terpencil. Untuk menjangkaunya, harus melewati sejumlah ruas jalan yang rusak. Para murid di sekolah itupun sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu.

‘’Saya memang asli dari desa ini. Dulu waktu SD pun saya sekolah di sini. Jadi saya sudah sangat mencintai sekolah ini,’’ kata Rohendi.

Namun sayang, kecintaan dan keikhlasan Rohendi untuk mengajar di SDN Jatimunggul 1 itu tak berbanding lurus dengan hak yang diterimanya. Upah yang diterimanya sebagai guru honorer, hanya di kisaran Rp 300 ribu – Rp 400 ribu per bulan.

‘’Itupun honornya belum cair sejak Agustus sampai sekarang,’’ tutur Rohendi.

Rohendi tak tahu mengapa honor yang menjadi haknya itu tak kunjung dibayarkan. Dia hanya bisa bersabar dan meyakini ada pintu rezeki yang lain untuknya.

Selama ini, untuk menghidupi istri dan dua orang anaknya, Rohendi nyambi sebagai pemetik cabai selepas mengajar. Dari pekerjaannya itu, dia menerima upah sekitar Rp 20 ribu – Rp 30 ribu per hari.

Namun, jika tak ada petani cabai yang sedang membutuhkan jasanya, Rohendi pun akan mencari pekerjaan sampingan lainnya. Dia bekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu.

Selain itu, Rohendi juga membuka usaha penyewaan hotspot wifi di rumahnya. Dia mematok tarif Rp 2.000 per hari. Usaha itu cukup membantunya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Tak hanya upah yang minim, Rohendi pun setiap hari harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengajar. Akibat kekurangan guru di SDN Jatimunggul 1, dia terpaksa harus mengajar di dua kelas, yakni kelas satu dan kelas dua, dalam waktu bersamaan.

Biasanya, Rohendi mengajar di kelas satu untuk menyampaikan materi dan memberikan latihan soal. Di saat murid kelas satu mengerjakan latihan soal tersebut, dia akan bergegas ke kelas dua. Di kelas dua, dia juga menyampaikan materi dan memberikan tugas. Setelah itu, dia kembali lagi ke kelas satu, begitu seterusnya.

‘’Jadi ya harus bolak-balik. Sebenarnya capek, tapi mau gimana lagi, kelas dua tidak ada gurunya,’’ kata Rohendi.

Semula, kelas dua diajar oleh guru honorer yang lain. Namun, akibat upah minim yang tak kunjung dibayarkan, guru honorer itupun memilih pergi. Karenanya, Rohendi mengambil alih tanggung jawab itu karena murid kelas dua harus tetap ada yang mengajar.

Selain mengajar dua kelas, Rohendi juga merangkap sebagai penjaga sekolah. Setiap pagi, dia yang pertama datang ke sekolah itu untuk membuka kunci pintu semua ruang kelas. Dia juga membersihkan sekolah sambil dibantu oleh sejumlah siswa yang sudah datang.

Meski semestinya ada upah tambahan untuk perannya sebagai penjaga sekolah, namun nyatanya Rohendi tak kunjung menerimanya. Dia pun tetap bersabar sambil terus menjalankan perannya itu. 

Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Ali Hasan, mengakui keterlambatan pencairan honor bagi para guru honorer. Namun, dia enggan menjelaskannya secara rinci mengenai penyebabnya.

‘’Ya (pencairannya) bertahap, dalam proses, nanti juga cair,’’ kata Ali saat dihubungi Republika.co.id melalui telepon selulernya, Jumat (6/12). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement