Kamis 28 Nov 2019 16:27 WIB

UN Masih Dibutuhkan, Namun Harus Dievaluasi

Evaluasi UN jangan hanya membahas kegiatannya saja atau soal-soal di dalamnya.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Andi Nur Aminah
Doni Koesoema
Foto: Tahta Aidila/Republika
Doni Koesoema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema menilai kebijakan Ujian Nasional (UN) memang harus dievaluasi ke depannya. Namun, evaluasi yang dilakukan harus menyeluruh, jangan hanya membahas mengenai kegiatannya saja atau soal-soal di dalamnya.

"Saya ingin jangan sampai evaluasi UN hanya membahas suatu kegiatan yang disebut UN, karena ini adalah bagian dari standar nasional pendidikan, terutama standar penilaian," kata Doni, di Jakarta, Rabu (27/11).

Baca Juga

Di dalam proses penilaian, ada tiga hal yakni berasal dari guru melalui ulangan harian. Selanjutnya adalah penilaian oleh sekolah, ketika sekolah menentukan kelulusan siswa. Selain itu adalah penilaian oleh negara untuk memastikan bahwa anak-anak SD, SMP, SMA memenuhi standar kualitas pendidikan seperti yang ditentukan oleh pemerintah.

Menurut Doni, UN harus dievaluasi dari sisi tujuannya. Selama ini, UN tidak digunakan sebagai penentu kelulusan dan juga sebagai ujian masuk perguruan tinggi. Doni beranggapan hal ini merupakan pemborosan. Pada tahun ini juga dimulai ujian tulis berbasis komputer (UTBK) untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

UTBK tersebut juga mewajibkan siswa untuk membayar biaya lagi yang mencapai ratusan ribu rupiah. Bagi sebagian masyarakat, menurut Doni, hal ini akan memberatkan apabila membayar sebanyak itu hanya untuk mengikuti ujian.

"Saya rasa ini sebuah pemborosan, karena UN yang hampir 300 miliar yang sekarang berbasis komputer, yang dulunya malah hampir setengah triliun itu menjadi sia-sia," kata dia.

Menurutnya, sebaiknya UN bisa diintegrasikan dengan tes masuk perguruan tinggi. Sehingga, anak-anak Indonesia tidak perlu membayar lagi setiap akan mengikuti ujian-ujian. Hal itu, kata Doni akan sangat membantu anak-anak di Indonesia. Ujian cukup satu kali dan bisa digunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi.

Ia melanjutkan, UN sebagai bagian dari proses akuntabilitas tetap harus ada. Keberadaan UN ini dalam arti secara format. Namun, tujuan dilakukannya UN menurut Doni bisa dievaluasi kembali.

Selama ini, alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak bisa menghapus UN disebabkan karena hasil dari ujian tersebut digunakan sebagai asesmen pendidikan di Indonesia. Hasil UN akan digunakan untuk standar pelatihan guru dan juga kebijakan-kebijakan terkait pendidikan.

Terkait hal tersebut, Doni mengatakan saat ini Kemendikbud menggunakan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia atau AKSI untuk melihat fakta di lapangan soal perkembangan pendidikan anak Indonesia. Doni berependapat, AKSI bisa digunakan oleh negara untuk melihat apa yang terjadi di pendidikan Indonesia.

"Contoh, sekarang ini kan kita tahu kelas 3, 4 SD sangat krusial, karena di Indonesia ini masih ada yang tidak bisa membaca dan menulis. Saya rasa, untuk pemerintah perlu mengevaluasi seluruh secara nasional itu misalnya," kata Doni.

Sebelumnya, sempat beredar kabar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim ingin mengkaji ulang UN. Menurut Doni, UN untuk tahun 2020 masih akan tetap ada sebab sudah dijadwalkan.

"Kalau yang tahun sekarang ini UN sudah ditetapkan, masih ada. BSNP sudah menetapkan. Kalau Mas Menteri mau mengubah kebijakan ini mungkin baru bisa diubah 2021," kata Doni.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud, Totok Suprayitno juga menegaskan UN masih akan dilaksanakan pada tahun depan. Ditanya lebih lanjut soal wacana penghapusan UN, ia hanya mengatakan akan mengabari lebih lanjut.

"Nasib UN status quo, jalan. Jalan saja berlanjut insya Allah berlanjut. Nanti kalau sudah ada (pembahasan hapus UN, Red) dikasih tahu," kata Totok.

Sementara itu, Kepala Bidang Sinkronisasi Kebijakan PASKA Kemendikbud, Kurniawan juga menuturkan UN akan tetap dilakukan pada 2020. Ia mengatakan, saat ini Mendikbud belum mengeluarkan program baru terkait kebijakan ke depannya. "Selama 100 hari, Mas Menteri masih belum mengeluarkan kebijakan baru," kata Kurniawan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement