Selasa 26 Nov 2019 15:22 WIB

Guru Digugu Lan Ditiru

Guru seperti akronim Digugu Lan Ditiru harus mampu menjadi teladan atau panutan

Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)

Guru menurut akronim Jawa adalah digugu lan ditiru atau orang yang dipercaya dan diikuti. Bagi kita sendiri, mendengar satu kata guru sungguh luar biasa, kenapa? 

Karena tanpa jasa seorang guru kita semua tidak bisa membaca ataupun menulis. Guru adalah sosok yang begitu mulia dan diagungkan, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. 

Di sekolah, guru begitu dihormati dan menjadi teladan bagi murid-muridnya, sedangkan di lingkungan masyarakat guru menjadi rujukan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun pemikiran. Hal ini karena slogan yang melekat pada diri seorang guru yaitu Guru, digugu dan ditiru. 

Namun sayang, slogan tersebut pada saat ini mulai sedikit demi sedikit luntur, tidak sedikit guru yang hanya menjalankan profesinya untuk sekedar menggugurkan kewajibannya. Ungkapan guru sebagai orang yang bisa digugu dan ditiru maknanya amatlah dalam.

Digugu memiliki arti dipercaya atau dipatuhi, sedangkan ditiru berarti diikuti atau diteladani. Sudah sepatutnya seorang guru memiliki dua hal tersebut. Segala penyampaian dari guru haruslah sebuah kebenaran yang menumbuhkan keyakinan kepada setiap yang mendengarnya, dan segala tingkah lakunya haruslah menjadi contoh bagi setiap yang melihatnya.

Disamping bisa dipercaya dan dipatuhi, seorang guru haruslah bisa menjadi teladan atau panutan. Dan inilah yang sebenarnya jauh lebih penting dari peran seorang guru dalam pendidikan. 

Banyak guru yang berhasil mengajar muridnya hingga menjadi orang pintar, namun hanya sedikit di antara mereka yang bisa mencetak  generasi yang berakhlak mulia. Ironisnya lagi, sebagian dari guru di republik ini malah mempertontonkan sikap yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang guru. 

Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di mana sepanjang Januari 2011 sampai Juli 2015 terdapat 1.880 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Belum lagi, Sejak bulan Januari hingga Oktober 2019, tercatat 127 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. Hal ini menunjukkan betapa guru sudah sangat jauh dari keteladanan.

Bisakah pendidikan kita akan melahirkan generasi yang unggul jika gurunya tidak mampu memberikan keteladanan, maka guru harus mampu berdiri paling depan untuk memberi keteladanan. Melalui peringatan Hari Guru Nasional, sebagai guru mari kita introspeksi diri, sejauh mana kita bisa menjadi figur yang mampu menginspirasi yang baik bagi generasi. 

Di tangan gurulah masa depan generasi bangsa ini dititipkan, maka hadirnya guru sudah selayaknya memberi kehangatan, perkataannya memberi pencerahan, dan sikapnya penuh keteladanan. Itulah hakikatnya seorang pahlawan tanpa tanda jasa. 

Pengirim: Yulia Dwi P, Guru SMA Swasta, Plemahan Kediri

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement