Jumat 22 Nov 2019 16:56 WIB

Bimbel, Pesaing Sekolah atau Mitra Para Pendidik?

Bimbel adalah mitra kerja para pendidik untuk wujudkan tujuan pendidikan nasional

Anak-anak mengikuti kegiatan bimbingan belajar (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anak-anak mengikuti kegiatan bimbingan belajar (ilustrasi)

Ujian nasional semakin dekat. Lembaga pendidikan non formal seperti bimbingan belajar (bimbel) mulai giat menjemput bola. Mereka keluar masuk sekolah menawarkan kerja sama. Di berbagai media sosial keuanggulan disampaikan. 

Dimana-mana brosur dibagikan yang ditawarkan seputar dua hal. Kalau tidak jaminan lulus ujian nasional tentu jaminan nilai setinggi langit bagi yang ikut program belajarnya. Kadang juga ditawarkan diskon menggiurkan.

Semua ini harus disambut positif. Pendidikan memang bukan tanggung jawab pemerintah saja. Pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat. Berbagai program belajar yang ditawarkan lembaga bimbel merupakan langkah mewujudkan tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lagi pula secara yuridis keberadaan lembaga bimbel juga sah. Dalam Pasal 26 ayat 4  UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Berdasarkan UU RI ini sudah jelas lembaga bimbingan belajar itu legal.

Yang perlu dipertanyakan apakah lembaga-lembaga bimbel yang ada memenuhi standar pendidikan? Pertanyaan ini perlu diajukan sebab Pasal 4 Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Standar pendidikan yang dimaksud antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Delapan standar ini merupakan ukuran minimal penyelenggaraan pendidikan.

Dalam kaitan dengan standar isi, bimbel harus memperhatikan lingkup materi yaitu kesesuaiannya dengan kurikukum yang berlaku di sekolah. Ini logis sebab peserta bimbel adalah siswa sekolah. Orang tua mempercayakan anaknya pada lembaga bimbel dengan tujuan ada peningkatan kemampuan sang anak terhadap materi belajar di sekolah.

Proses pembelajaran yang diadakan lembaga bimbingan belajar juga harus interaktif, inspiratif dan menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis pesertanya.

Proses pembelajaran ini tentu tidak dapat dicapai dengan sekedar memberi latihan dan pembahasan soal saja. Lebih dari itu perlu juga didukung oleh pendidik yang berpengalaman.

Oleh karena itu pendidik bimbel harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Yang tak kalah penting lagi lembaga bimbel harus memperhatikan standar kompetensi lulusan (SKL). SKL dipergunakan untuk pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik. Kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Seperti halnya sekolah, lembaga bimbel juga wajib memiliki sarana yang memadai meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Sedangkan dalam hal pengelolaan, seperti halnya sekolah juga, bimbel harus mampu melaksanakannya secara mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel. Pengelolaannya atas dasar rencana kerja yang telah diprogramkan.

Semua ini hanya secuil gambaran umum dari standar pendidikan yang harus dimiliki sekolah. Sebenarnya lembaga pendidikan non formal seperti bimbel memiliki standar sendiri dalam prosesnya. Tapi setidaknya ini dapat dijadikan cermin evaluasi diri.

 Bagi lembaga bimbel yang belum memenuhinya sudah pasti harus berbenah diri. Sedangkan bagi yang sudah sesuai atau bahkan melampaui harus mempertahankan dan bahkan meningkatkan diri.

Kehadiran lembaga bimbingan belajar harus disambut baik. Mereka layak mendapat dukungan  masyarakat. Lembaga bimbel bukan pesaing sekolah. Mereka mitra kerja yang berpotensi dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 

Yang perlu disadari bersama baik lembaga bimbel dan sekolah bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Inilah definisi pendidikan menurut Pasal 1 UU RI Nomor 20 Tahun 2003.

Menurut definisi di atas yang utama dalam pendidikan adalah perencanaan yang matang. Pendidikan tidak perlu diskon besar sebab bukan barang dagangan di mall atau pasar tradisional.

Pengirim: Ilham Wahyu Hidayat, Guru SMP Negeri 11 Malang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement