Rabu 06 Nov 2019 07:12 WIB

Mana yang Dibutuhkan, Deradikalisasi atau Deliberalisasi?

Kaum muda juga butuh deliberalisasi agar tidak kebablasan dalam pergaulan

Mengaji dan belajar membaca Alquran.
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Mengaji dan belajar membaca Alquran.

Dunianya generasi muda selalu asyik untuk diulik. Selain penuh warna, alur hidup generasi muda juga menjadi harapan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, membincangkan cerita anak muda tidak akan pernah ada habisnya.

Belakangan terjadi kegaduhan di sosial media soal pernyataan seorang tokoh bangsa yang juga menyoroti geliat anak muda. Secara langsung melalui siaran televisi swasta, tokoh tersebut menyatakan bahwa aksi radikalisme harus diwaspadai sejak dini. Semisal seorang anak perempuan yang tidak mau jalan bersama teman laki-laki, maka ini terindikasi terpapar radikalisme. Harus dicurigai dan dideradikalisasi.

Pernyataan ini tentu saja menyulut nalar kritis netizen. Bagaimana mungkin sikap belajar taat pada syariat dicap radikal? Bukankah bagus anak-anak dikenalkan batasan pergaulan sedini mungkin? 

Di mana letak ancaman dan bahayanya jika anak-anak menjaga interaksi dengan lawan jenis? Kenapa cap radikal begitu tendensius pada hal-hal yang berbau islam? Berbagai analisa dan argumen bergulir kencang tidak terhalang.

Tidak lama berselang, netizen berubah arah pandang. Berita demi berita mengejutkan datang dari elemen pemuda. Mendadak viral seorang pemuda bertato yang mengakui dengan bangga hasil kreasinya. 

Pemuda ini menghamili sang pacar sebelum menikahi. Jagad sosial media gempar. Semua mata terbelalak. Terutama para Emak yang sudah merasakan bertaruh nyawa saat melahirkan. Tidak sudi memiliki anak pelaku zina.

Berita lain tidak kalah miris. Bahkan begitu tragis. Peristiwa berdarah antara murid dan guru kembali terjadi. Seorang murid tersinggung kepada guru karena ditegur saat merokok di kelas.  Sehingga akhirnya sang murid ini tega menikam gurunya sendiri yang berujung pada kematian.

Astagfirullah! Siapapun yang bernurani pasti mengutuk perbuatan keji ini.

Dua soalan pemuda ini bukan hal baru sebenarnya. Perzinaan hingga berujung kehamilan, ataupun sikap lancang murid kepada guru sudah kerap terjadi. Kasus semisal hampir menggejala di seluruh pelosok negeri. 

Artinya, masalah ini bukan sekedar kasuistik belaka. Melainkan bisa disebut dengan masalah sistemik. Tentu saja akan sangat berbahaya jika tidak serius ditangani. Ancamannya bukan hanya pada individu-individu pemuda, tetapi juga bagi masa depan bangsa.

Sadar atau tidak, selayaknya kita mulai membuka mata lebar-lebar. Bahwa persoalan amoral bahkan kriminalitas di kalangan pemuda disebabkan oleh budaya kebebasan. Budaya liberalisme ini masuk sedemikian rupa melalui berbagai media.

Di era serba digital saat ini, paham liberalisme dengan leluasa lalu-lalang memaparkan keburukan kepada siapa siapa. Utamanya kepada generasi muda. Melalui berbagai konten dan aplikasi bahkan juga tayangan-tayangan di televisi, liberalisme siap meracuni.

Hal yang dijual adalah eksistensi diri. Semakin “berani” semakin berpeluang peroleh puja-puji. Kian viral maka kian terkenal. Maka tidak heran jika kemudian generasi zaman now tidak punya rasa malu atau takut berbuat apa saja. Bebas, bablas, amblas!

Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus bergerak bersama untuk menyelamatkan dan menjaga generasi muda dari liberalisme. Karena nyatanya, liberalisme yang justru terbukti mengancam generasi muda kita. Maka yang harusnya digalakkan bukanlah deradikalisme, melainkan deliberalisme. Wallahu’alam

Pengirim: Wulan Citra Dewi, S.Pd, Pemerhati remaja dan pendidikan, Pekanbaru, Riau

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement