Kamis 31 Oct 2019 14:17 WIB

Bagaimana Kita Bisa Bahagia?

Islam memandang bahagia adalah ketenangan jiwa menjalankan aktivitas yang diwajibkan

Berdoa kepada Allah/ilustrasi
Berdoa kepada Allah/ilustrasi

Fenomena bunuh diri akhirnya menjumpai satu persatu anak negeri. Sesuai hasil survei BPS tahun 2015, Jawa Timur menjadi wilayah kedua angka bunuh diri tertinggi setelah Jawa Tengah. Baru kemarin, kasus gantung diri juga menghebohkan masyarakat Surabaya.

Berkali-kali kita melihat berita depresi hingga bunuh diri. Saat ini bunuh diri seolah menjadi pilihan akhir menyelesaikan tuntutan hidup yang tak mampu dipenuhi seseorang. Penyakit mental terutama depresi nyatanya adalah faktor risiko penyebab bunuh diri.

Sayangnya, semua orang disibukkan dengan cara mengobati depresi agar tidak mengarah pada bunuh diri. Tak lupa, jika seseorang sudah berpikir untuk bunuh diri, maka cara yang ditawarkan oleh pemerintah kita termasuk dunia secara keseluruhan adalah menggencarkan konsultasi dengan lembaga kesehatan mental atau semacamnya. Sementara kita juga tak bisa memastikan bahwa lembaga tersebut dapat benar-benar menghalangi pikiran bunuh diri yang dialami banyak orang. 

Menelisik lebih dalam, harusnya pikiran kita mengarah pada apa sebab seseorang menjadi depresi. Masih menurut hasil survei BPS, motif bunuh diri biasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar karena gagal mencapai harapannya atau harapan orang lain.

Artinya, bunuh diri disebabkan oleh depresi karena dipicu kegagalan atau hanya ketakutan akan kegagalan dalam memenuhi harapan/kesuksesan dalam tingkat tertentu. 

Lalu apa arti kesuksesan di era ini? Mau tak mau kita harus menunjuk sistem kehidupan yang kita anut yaitu kapitalisme-liberal. Harus diakui bahwa kita secara sadar menstandarkan semua aktivitas kepada  sistem hidup ini. Standar sukses dalam sistem ini adalah pencapaian materi setinggi-tingginya. Hidup layaknya pertandingan dan persaingan sengit antar manusia yang individualis. Seperti kata Margaret Thacher, “Tidak ada yang namanya masyarakat. Anda memang sendirian”. 

Tidak dinafikkan bahwa kekalahan bersaing artinya kegagalan. Kuantitas adalah yang terpenting. Kualitas bisa jadi tak berarti. Sedangkan kondisi ekonomi sebagai ukuran kuantitas kesuksesan dalam kehidupan ala Barat juga tak mendukung. Upah pekerja tak meningkat, malah tagihan yang meningkat, dan biaya sewa tempat tinggal melambung yang akhirnya mendorong orang menjadi tunawisma. 

Bagaimana kemudian orang tak terdorong untuk bunuh diri? Dan bagaimana cara untuk bisa menjadi bahagia? Bahagia itu adalah kualitas. Maka sesungguhnya materi itu tak mampu menjadi tolok ukur kebahagiaan. Telah kita saksikan bahwa peristiwa bunuh diri pun dialami orang yang kaya raya. 

Islam akhirnya datang memberi jawaban atas pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh pandangan hidup yang lain. Islam memandang bahwa kebahagiaan adalah ketenangan jiwa yang hanya bisa didapat jika menjalankan aktivitas karena penilaian Allah bukan standar manusia yang tak pernah puas.

Kondisi sosial-ekonomi yang kondusif juga mendukung kebahagiaan itu terpenuhi. Kondisi sosial yang tidak individualis namun memasyarakat, lalu ditopang ekonomi yang merata pada masyarakatnya menjadikan tak mustahil negeri ini menjadi negeri yang bahagia secara hakiki. 

Pengirim: Nurintan Sri Utami, S.Psi

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement