Senin 28 Oct 2019 15:29 WIB

Penabur Bunga

Bersediakah kamu menabur bunga, Ibuku?

Penabur Bunga
Foto: Rendra Purnama/Republika
Penabur Bunga

REPUBLIKA.CO.ID, Lebih tiga pekan. Sejak cerita tentangmu di media sosial bertebaran. Tentang seorang ibu yang namanya tak pernah disebutkan dan sepenggal pesan pada anaknya yang ia titipkan. Pada suatu pagi, Tika, anaknya berpamitan pergi, sebagai seorang demonstran.

Kamu seorang diri sedang menunggu anakmu seperti biasa, di depan sebuah televisi lama. Siaran sinetron yang biasa disiarkan mendadak kamu abaikan. Berita singkat yang muncul di sela iklan membuatmu mengganti program kesukaan dengan berita di stasiun lainnya. Stasiun televisi yang secara langsung menyiarkan aksi demo.

Tidak ada yang melebihi cemasnya seorang ibu ketika itu. Kamu tahan debar dada saat sadar pukul tujuh malam ini anakmu belum mengetuk pintu. Untuk tenang sekuat-kuatnya kamu berusaha walaupun ada segunung kecemasan tumbuh mengakar dari dada ke kepala.

“Dinda, kamu di mana?” tanyamu seketika sembari meraih ponsel di atas meja.

Sepasang matamu tak berhenti menatap layar televisi. Kamu melihat almamater warna-warni. Kuning, biru, hijau, merah, jingga, warna apa saja. Saat itu yang mana anakmu kau tak bisa menerka. Serupa semut mereka.

Ponsel anakmu tidak aktif. Operator yang menyampaikan notif. Pandangan matamu seolah tertutup jerebu yang sama di luar situ, berkabut dan abu-abu. Rasanya hangat dan bulir-bulir air mengalir ke bibir yang kau gigit kuat-kuat. “Kamu di mana, Nak?” dadamu sesak.

Siang tadi, di depan sebuah gedung, langit beberapa hari ini mendung, tapi belum juga hujan. Sementara, nyanyian katak terus terdengar sampai katak-katak itu serak. Matahari sudah merah, marah. Ronanya lama diselimuti asap dari Sumatra. Hutan-hutan terbakar bahkan ular dan monyet liar.

Marahnya matahari sampai juga di kepala mahasiswa. Menembus kabut asap tebal, merasuki bahkan ke kepala manusia bebal. Yang selama ini tak peduli betapa tanah yang ia pijak sedang dalam keadaan ngeri.

Terbakarnya hutan di pulau barat negeri, berembus ke mana saja dengan angin yang memegang kendali. Sesak sekali. Bagaimana pemimpin negeri? Ini kan buah dari investasi?

Ketika pertanyaan semacam itu mengetuk pintu sebuah ruangan di tengah ibu kota provinsi, pemilik kepala pergi, berkeliaran, ke Thailand.

Pertanyaan menanjak ke kursi yang lebih tinggi, tapi tentu semua jauh hari sudah diantisipasi. “Bicara kau soal investasi! Kau bilang jangan alergi! Kau buat oligarki!” teriak seseorang dengan ikat kepala merah putih dan pengeras suara di tangan kirinya.

Siaran berita terus mengalir tak putus-putus. Kamu, seorang ibu yang tadi itu, masih menunggu suara ketukan pintu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Kamu ditelan kekhawatiran, anakmu perempuan.

Teriakan menjadi-jadi menolak banyak hal yang tidak bisa diterima oleh mereka yang punya otak. Negeri ini nyatanya dijadikan lahan tambang. Julukan tanah surga terang sebentar waktu bisa tumbang. Mereka bisa membaca apa yang tak lantang dimaksudkan rancangan undang-undang yang sembarang. Bertitik tolaklah semuanya pada sebuah kata serakah.

“Kau di mana?” tanya sebuah suara lewat ponselnya. Pada seorang kawan yang tak datang.

“Di rumah. Buat apa sih kalian turun ke jalan? Aksi sia-sia, sementara para penguasa cuma tutup mata!” balasnya.

“Rupanya kau hanya punya kepala, tapi tidak ada otaknya.”

Kawannya hanya diam menunggu kalimat lanjutan yang agaknya akan lebih tajam.

“Aku tahu kau takut mati, tapi memikirkan diri sendiri dan tidak berjuang untuk menyelamatkan anak-cucumu di masa depan nanti, sama saja kau tak perlu hidup sama sekali. Neraka sudah menunggu sejak kau menolak ajakanku tadi!”

Telepon diputus. Kawan yang baru selesai bertadarus menutup kitab suci, melipat sajadah yang didudukinya tadi, dan mengenakan almamater yang ia simpan di lemari.

“Ibu, Dinda pamit,” katanya.

“Pergi ke mana, Nak?” tanyamu. Kamu, ibu dari anak perempuan bernama Dinda itu.

“Ke…,” Dinda ragu menjawab tanyamu. Khawatir tak dapat restu.

“Gedung Wakil Rakyat,” ia akhirnya menjawab meski lambat. Kamu lihat almamater yang ia sandang di lengan sebelah kanan.

Kamu lihat wajah yang sebelumnya tak pernah diliputi gundah dan marah. Seperti ketika ia berpamitan setelah subuhnya.

Kamu menghirup napas dalam. Kamu tinggalkan ia sendiri di pintu depan, sementara tangannya menggantung menunggu jawaban salam. Dinda menunggu.

Kamu kembali dengan sebotol air minum, lalu berkata, “Nak, tidak perlu tanya rasa khawatirku padamu, tapi ibu punya pesan dan tolong kamu patrikan, kamu akan kembali pulang. Ibu bekalkan ini dan doa yang panjang dari sini. Selamat berjuang, Nak!”

Dinda memelukmu. Gemetar ia. “Terima kasih, Bu!” katanya dan kemudian bergegas pergi. Meninggalkanmu di rumah sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement