Senin 21 Oct 2019 18:08 WIB

Peneliti: Kearifan Lokal Semakin Termarjinalkan

Pemerintah kurang memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat dan civitas kampus.

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Talkshow DNA Bedah Buku dengan tema 'Strengthening Local Wisdom and Building Innovation For Suistanable Development Goals 2030' di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (21/10).
Foto: Hilyatul Asfia
Talkshow DNA Bedah Buku dengan tema 'Strengthening Local Wisdom and Building Innovation For Suistanable Development Goals 2030' di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dewasa ini, keberadaan kearifan lokal  memiliki hubungan erat dengan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) cenderung termarjinalkan. Peneliti Komunitas Studi Nasional Welfare Institute, Anggalih Bayu Muhammad Kamim, menuturkan kondisi MHA beserta kearifan lokal yang melekat dengannya saat ini semakin termarjinalkan. 

"Hal tersebut dipengaruhi peran pemerintah yang terkungkung oligarki kekuasaan pemodal besar," tutur Bayu saat menyampaikan materi dalam  Talkshow DNA Bedah Buku dengan tema 'Strengthening Local Wisdom and Building Innovation For Suistanable Development Goals 2030' di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (21/10). 

Menurut Bayu, pelemahan kearifan lokal tersebut tergambarkan dalam beberapa bentuk persoalan. Pertama, dalam penyelenggaraan kebijakannya pemerintah jauh lebih sering mengeluarkan konsesi izin pertambangan, perkebunan kelapa sawit, sehingga berdampak terhadap kondisi MHA itu sendiri. 

"Gambaran tersebut semakin nampak saat adanya pilkada daerah tertentu”, katanya kepada kepada Republika.

Kedua, Bayu menjelaskan skema pembangunan yang dilakukan pemerintah mendorong penguatan terhadap konglomerasi, problem struktural tersebut menguat dibandingkan dengan penguatan inisiasi lokal. “Hal ini tercermin dari adanya 9,3 juta hektare yang memerlukan adanya pemetaan pada periode era Presiden Jokowi 2014-2019 hanya terealisasikan setidaknya 27 ribu hektar lahan”, jelas Bayu. 

Ketiga, Bayu mengungkapkan pemerintah kurang memberikan ruang partisipasi kepada jejaring masyarakat dan lingkungan civitas kampus sebagai wujud memperkuat daya tawar dari masyarakat sipil. Bayu menyayangkan berdasar kajian dari Yayasan Madani berkelanjutan, politisi yang terllibat dalam RUU MHA tidak memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk memberikan sumbangsih pemikirannya.  

Bayu menambahkan, Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang dipraktikkan pada wilayah tertentu di Papua justru mengancam keberadaan tanah komunal masyarakat adat yang mengakibatkan terjadinya penyerobotan tanah komunal oleh pihak individu tertentu. 

Sementara itu, Kearifan lokal suatu negara merupakan bagian penting yang perlu diakomdir dalam penyelenggaraan kebijakan, guna mewujudkan Indonesia maju, sejahtera dan berdaulat. 

Selaras dengan hal tersebut, Dosen Filsafat UGM, Heri Santoso menuturkan dalam pembangunan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, Pancasila merupakan pijakan dasar dalam setiap aspek kebijakan.  “Sedangkan heterogenitas merupakan kearifan lokal yang perlu diakomodir dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara”, ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement