Senin 14 Oct 2019 22:40 WIB

Guru Besar UNS Teliti Upaya Penanggulangan Kekurangan Iodium

54 juta orang dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia kekurangan Iodium.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Ladang garam, ilustrasi
Ladang garam, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yulia Lanti Retno Dewi, melakukan penelitian mengenai kekurangan iodium di wilayah Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian tersebut disimpulkan kecukupan iodium tidak bisa hanya dipenuhi dari suplemen iodium.

Yulia Lanti Retno Dewi akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran (FK) UNS di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS, Selasa (15/10). Dalam pengukuhan Guru Besar nantinya Yulia akan membacakan pidato pengukuhan berjudul Kekurangan Iodium Dalam Perspektif Ekologi dan Upaya Penanggulangannya. Yulia akan dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-202 UNS dan ke-42 di FK UNS.

Baca Juga

Yulia mengatakan kekurangan iodium merupakan masalah global. Di Indonesia, diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah kekurangan iodium mencapai 54 juta orang dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) menjadi masalah gizi yang telah lama diketahui dan telah dicoba untuk diatasi. Pemerintah kolonial Belanda pada 1927 telah mulai menggunakan garam beriodium di Hindia Belanda, tetapi terhenti setelah perang kemerdekaan.

Upaya penanggulangan GAKI di Indonesia meliputi beberapa hal. Di antaranya suntikan iodium yang dilarutkan dalam minyak atau Suntikan Lipiodol. Jutaan dosis Lipiodol telah disuntikkan pada ibu hamil, menyusui, dan wanita usia subur di Indonesia dengan biaya sangat besar. Suntikan tersebut di samping dinilai terlalu mahal, juga dapat menularkan penyakit melalui jarum suntik.

Upaya kedua, dengan Kapsul iodium (Yodiol). Sejak tahun 1990-an dimulailah penggunaan kapsul iodium dalam minyak yang dibuat oleh PT Kimia Farma dengan bantuan pemerintah Australia, dengan nama Yodiol. Kapsul diberikan kepada ibu hamil, menyusui, wanita usia subur, anak SD, dan remaja putri hingga usia 20 tahun.

Kemudian upaya ketiga berupa garam beriodium. Penggunaan garam beriodium untuk menanggulangi GAKI telah dimulai pada 1920-an. Negara yang pertama kali berhasil menanggulangi GAKI dengan garam beriodium yakni Swiss pada 1924, disusul Amerika Serikat pada 1925. Pemerintah Indonesia memulai kampanye nasional skala besar untuk konsumsi garam beriodium pada 1997.

Semua upaya penanggulangan tersebut mengikuti paradigma kekurangan iodium ditambah suplemen iodium sama dengan kecukupan iodium. Paradigma tersebut berdasarkan pada pandangab kekurangan iodium menjadi sebab dari semua gangguan akibat kekurangan iodium.

"Dalam penelitian saya di Kecamatan Ngargoyoso, meskipun telah dilakukan upaua penanggulangan menggunakan paradigma tersebut, tetapi kekurangan iodium di sana masih tetap ada," terang Yulia saat jumpa pers di Solo, Senin (14/10).

Bahkan, setelah kapsul iodium dihentikan dan diganti dengan garam beriodium yang harus dibeli oleh masyarakat, rasio Total Gioter Rate (TGR) meningkat pesat. Rasio TGR merupakan banyaknya anak SD yang menderita gondok dibagi dengan total anak SD yang diperiksa. H itu menimbulkan pertanyaan kemungkinan adanya faktor lain yang berperan dalam penyakit kekurangan iodium.

Yulia memaparkan, Kecamatan Ngargoyoso merupakan daerah endemis GAKI, selamanya memang kekurangan iodium. Salah satu sebabnya, tinggi permukaan tanah pada 900-1.100 meter dari permukaan laut. Ketika hujan deras terjadi, air akan membawa lapisan iodium dalam tanah sehingga iodium tidak bisa melekat di tanah. Akibatnya, kadar iodium di air tanah di lokasi tersebut nol persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement