Jumat 04 Oct 2019 16:26 WIB

Seperti Pagi

Seperti pagi, aku selalu datang tepat waktu meski tanpa pernah berjanji menunggumu.

Seperti Pagi
Foto: Daan Yahya/Republika
Seperti Pagi

Seperti pagi, aku selalu datang tepat waktu meski tanpa pernah berjanji menunggumu di sini. Tempat kita pernah sama-sama membangun sebuah janji ikatan suci. Tak pernah jemu. Selalu ada dan selalu menunggu. Meskipun akhirnya kau khianati.

Seperti pagi. Aku akan setia meski apa pun yang terjadi. Pernahkah kau mendengar pagi yang batal datang akibat hujan yang teramat deras atau tak mau menunggu karena langit dipenuhi mendung tebal? Meski tanpa cahaya, pagi akan tetap datang.

Aku akan selalu menunggumu di sini, di teras rumah idaman yang pernah kita bangun bersama sejak dua puluh tahun silam. Dua puluh tahun! Jadi, siapa yang rugi kalau ada yang masih meragukan kesetiaan seorang pagi yang masih tetap ada hingga dua puluh tahun?

Sekarang coba bayangkan juga andai pagi tak datang. Pasti akan kau dengar beragam keluhan dari anak-anakmu.

Kau memang bisa mencarikannya pengganti. Dengan seorang asisten rumah tangga mi salnya atau dengan pagi yang lain. Tapi, bisakah setiap hari dia tulus ikhlas membangunkan mereka, membuatkan sarapan yang mereka sukai, mencucikan baju-baju mereka, merapikan kamar mereka, membuat nyaman saat mereka sakit, selama dua puluh tahun tanpa sepeser pun upah?

Asisten rumah tangga hanya akan bergerak jika kau memberinya upah. Jikapun kau mencarikan pagi yang lain, pagi yang tak pernah melahirkan mereka dari rahimnya, aku yakin pasti akan beda rasa. Hanya pagi yang menjadi rahim merekalah yang akan selalu berusaha tulus ikhlas memikirkan bagaimana pertumbuhan dan masa depan mereka.

Itulah sebabnya aku akan terus berada di sini. Menunggui dan mengawal mereka—sekaligus menunggumu meski tahu kau tak akan pernah kembali. Karena aku ingin seperti pagi.

“Jangan terlalu banyak melamun, Bu,” sebuah sentuhan di bahu membuatku menoleh. Di luar, pagi membawa kabut tipis dari kaki Muria. “Melamunkan apa sih, Bu?” senyumnya yang merekah mengingatkanku kepadamu. Dia anak lelaki sulungku.

“Maukah kau menemani Ibu duduk di sini sebentar?”

“Ada apa, Bu?” menuruti perintahku. Bahkan, bau tubuhnya pun mengingatkanku kepada bau tubuhmu.

“Duduk sajalah di sini. Ibu hanya ingin duduk bersamamu sebentar. Setelah itu baru kita sarapan.”

Dan kami pun duduk bersama dalam diam. Hanya diam. Kubiarkan segala masa lalu yang pernah kukorbankan, hingga ia tumbuh sebesar itu, kembali terputar dalam kepala. Nyaman sekali rasanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement