Kamis 03 Oct 2019 10:36 WIB

Batik Cina Vs Batik Lokal

pemerintah harusnya membendung serbuan batik Cina untuk menjaga yang lokal

Batik cina di Pasar Grosir Tanah Abang
Foto: ANTARA
Batik cina di Pasar Grosir Tanah Abang

Kemeriahan Hari Batik Nasional 2019, di mana-mana tampak orang mengenakan batik. Pelajar, mahasiswa, pegawai, bahkan ibu rumah tanggapun mengenakan batik di hari itu. Sebanyak 500 pembatik juga membatik bersama di Istana Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah pada 2 Oktober. 

Tidak mau ketinggalan, acara perayaan di Plaza Kementerian Perindustrian, Jakarta diisi dengan peragaan busana oleh 15 isteri duta besar di Indonesia, pameran batik untuk pakaian sehari-hari maupun koleksi, hingga pasar batik murah.

Baca Juga

Kementerian Perindustrian dan Yayasan Batik Indonesia (YBI) bahkan merilis laman yayasanbatikindonesia.com sebagai platform terdepan memperkenalkan batik pada anak muda. Generasi milenial mulai dikenalkan batik. 

Batik sudah diakui United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yaitu Badan Keilmuan, Kebudayaan dan Pendidikan PBB,  sebagai warisan budaya asli Indonesia pada tahun 2009. Akan tetapi tampaknya kini harus bersaing dengan batik impor. Tekstil dari Cina dengan motif mirip batik, dijual murah dengan harga Rp 25.000 per potong.

Sementara berbagai upaya telah dilakukan oleh para pengrajin batik lokal untuk meningkatkan minat konsumen. Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Yogyakarta, salah satunya, mereka terus menggencarkan pelatihan dan memfasilitasi pameran batik baik di dalam maupun luar negeri. Ide untuk memperkenalkan batik ke dunia internasional telah dilakukan sejak tahun 2014. 

Imbauan membeli batik lokal, rasanya akan sulit direalisasikan jika masyarakat lebih tertarik pada batik Cina dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah. Serbuan tekstil Cina bermotif batik mempersulit pengrajin batik lokal. Terjadi sejak 5 tahun yang lalu. 

Hal ini sangat dirasakan pengrajin, sehingga pendapat mereka menurun. Jika hal ini terus terjadi, maka dipastikan industri batik pun terancam gulung tikar, menyusul ratusan pabrik tekstil yang telah mendahului akibat ancaman tekstil impor.

Seharusnya pemerintah bisa menutup pintu impor, untuk memajukan produksi dalam negeri, serta meningkatkan kemandirian industri negeri sendiri. Oleh karena itu, harus ada tindakan nyata berupa kebijakan pemerintah untuk melakukan proteksi terhadap produk lokal. Sebab tanpa dukungan pemerintah, maka pengrajin batik akan tergilas.

Pengirim: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement