Rabu 02 Oct 2019 15:38 WIB

Menyoal Pidana untuk Gelandangan

Pidana untuk gelandangan bertabrakan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945

Sat Pol PP Purwakarta, razia anak jalanan, gelandangan dan pengemis dalam rangka cipta kondisi menjelang lebaran.
Foto: dok. Sat Pol PP Purwakarta
Sat Pol PP Purwakarta, razia anak jalanan, gelandangan dan pengemis dalam rangka cipta kondisi menjelang lebaran.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas desakan masyarakat akhirnya menyampaikan penundaan terhadap pengesahan revisi empat Undang Undang (UU), yang telah usai dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI), yakni Revisi UU Pemasyarakatan, Mineral dan Batu Bara (Minarba) Pertanahan, serta Revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR RI.

Dalam menyampaikan penundaan terhadap pengesahan ke empat RUU tersebut, Jokowi mengatakan, pengesahan terhadap RUU tersebut tidak dilakukan oleh DPR yang saat ini, masa priodenya akan berakhir, tapi akan dilakukan oleh DPR berikutnya.

Namun sebelumnya Presiden telah menyetujui Revisi UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi menjadi UU. Akibat disahkannya Revisi UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi, menimbulkan gejolak ditengah tengah masyarakat. Masyarakat menuduh bahwa Revisi UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Korupsi, adalah dalam upaya pemerintah dan DPR untuk melakukan pelemahan terhadap lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rentetan dari pengesahan Revisi UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi, menimbulkan unjuk rasa besar besaran yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan pelajar bukan saja di ibukota Jakarta, tapi melainkan hampir disuruh Provinsi di Indonesia. 

Ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk memprotes pengesahan Revisi UU Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi. Dan mendesak Presiden Jokowi agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Untuk membatalkan pengesahan Revisi UU Nomor: 31 Tahun  1999 Tentang Pemberantasan Korupsi.

Ada hal  menarik yang menjadi bahasan didalam RKUHP yang dinilai merupakan, dimana Negara dan pemerintahan seakan melepas tanggungjawab terhadap salah satu golongan rakyatnya.

Hal itu tercermin pada Pasal 432 RKUHP tentang pidana terhadap gelandangan " Setiap orang yang bergelandangan dijalan atau ditempat umum yang mengganggu ketertiban umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I Rp 1.000.000,-.

Sementara didalam KUHP sebelum dilakukan Revisi pada Pasal 505 disebutkan "Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas 16 tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan ".

Ancaman hukuman tersebut diberikan kepada gelandangan tanpa ada alasan apapun, baik mengganggu ketertiban umum, maupun tidak. Sedangkan pada Pasal 432 pada RKUHP, pidana diberikan kepada gelandangan apa bila mengganggu ketertiban umum. Jika menelisik dari dua pasal yang terdapat pada KUHP hasil dari ciptaan kolonial Belanda tahun 1915, dan pada RKUHP ciptaan para Anggota DPR RI , sama sama menjadikan gelandangan sebagai obyek pesakitan, pada hal gelandangan adalah warga negara  Indonesia yang tidak mampu dalam hal ekonomi dan pinansialnya, yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara dan pemerintahnya.

Manusiawi

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa gelandangan adalah orang yang bergelandangan, orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya. Sedangkan didalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis disebutkan: Gelandangan adalah orang orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat umum.

PP tersebut dengan sendirinya telah mengakui bahwa gelandangan adalah orang yang tidak mampu dan tidak memiliki tempat tinggal. Jika diartikan secara spesifik gelandangan termasuk kedalam kategori masyarakat yang fakir miskin, dan layak untuk diperhatikan oleh negara, sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang sudah berulang kali diamandemen, namun bunyinya tetaplah menyebutkan " Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara ".

Lantas timbul pertanyaan?, dimana letak tanggungjawab negara dan perangkatnya terhadap orang miskin? Bukan malah memberikan hukuman terhadap orang miskin yang menjadi gelandangan.

Siapapun tidak ingin hidup menjadi gelandangan jika kehidupan sosialnya yang layak. Karena gelandangan sering di sebut sebagai sampah masyarakat. Dan pemerintah sering melakukan tindakan yang tidak manusiawi kepada gelandangan ketika melakukan penertiban.

Jika dibanding antara pasal tentang gelandangan baik didalam KUHP ciptaan kolonial Belanda dan didalam RKUHP yang diciptakan oleh bangsa sendiri, lebih manusiawi PP Nomor : 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam memperlakukan para gelandangan.

Pada BAB III Usaha Preventif pada Pasal 5 PP Nomor : 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis menjelaskan " Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis didalam masyarakat yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis ".

 Kemudian di Pasal 6 disebutkan " Usaha sebagai mana disebutkan pada Pasal 5 dilakukan antara lain a, penyuluhan dan bimbingan. b, pembinaan sosial. c, bantuan sosial. d, perluasan kesempatan kerja. e, pemukiman lokal dan. f, peningkatan derajat kesehatan

 PP Nomor : 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis lebih memperhatikan tentang keberadaan orang orang miskin yang menjadi gelandangan dan pengemis. Bukan seperti yang dilakukan oleh anggota DPR RI yang bersikap arogan dalam melakukan RKUHP, yang tetap masukkan pasal tentang gelandangan.

Taruhlah jika KUHP produk kolonial memasukkan pasal tentang gelandangan dengan hukuman pidana tiga bulan penjara, dimana menurut para anggota dewan yang terhormat itu KUHP produk kolonial sudah tidak relepan lagi dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini dan perlu adanya revisi. Semestinya pasal mengenai gelandangan itu dihapus, karena gelandangan masuk dalam kategori fakir miskin yang menjadi tanggungjawab negara dan perangkatnya. Bukan malah memberikan hukuman pidana kepada mereka. Kesalahan negaralah yang tidak memberikan perhatian kepada mereka, sehingga mereka hidup sebagai gelandangan

Hukuman Untuk Pejabat

Andai kata pasal mengenai gelandangan ini masih tetap untuk dimasukkan kedalam RKUHP, karena anggota dewan takut untuk diganggu oleh para gelandangan, DPR harus merubah bunyi dari pasal tersebut tidak lagi memberi hukuman pidana kepada gelandangan, tapi melainkan memberi hukuman pidana kepada pejabat negara yang lalai dalam memberikan perhatian kepada fakir miskin yang menjadi gelandangan.

Pejabat negara yang layak untuk menerima hukuman pidana itu adalah mulai dari tingkat terendah, Bupati dan Walikota, kemudian Gubernur serta Presiden dan Wakil Presiden. Karena para pejabat inilah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap adanya warganya yang menjadi gelandangan didaerah kerjanya. Bukan malah memberikan hukuman kepada para gelandangan.

Selama ini para pejabat negara lalai memberikan perhatiannya terhadap masyasakatnya, sehingga ada masyarakatnya yang terpaksa menjadi gelandangan karena ketidak mampuan ekonominya.

Memberi hukuman pidana dan denda kepada para gelandangan bukan merupakan pemikiran yang bijak, karena, sebab hal itu tidak akan mengurangi jumlah gelandangan di Indonesia, dan tidak pula membuat para gelandangan jera apa lagi takut dengan ancaman pidana dan denda.

Berapa lamapun pidana yang dijatuhkan kepada para gelandangan , mereka tetap akan menerimanya dengan senang hati. Diluar penjarapun hidup mereka penuh dengan penderitaan. Untuk makan sehari hari saja mereka terpaksa mengharapkan belas kasihan orang, terkadang mereka harus mengais tong sampah untuk mendapatkan sisa makanan.

Belum lagi masalah tempat tidur, yang beralaskan kardus, dan beratapkan langit, siang berpanas malam berembun. Berapa besarpun denda yang dijatuhkan kepada para gelandangan, mereka tetap legowo menerimanya, dan mereka tidak akan membayar denda itu, karena mereka tidak memiliki uang. Mereka akan memilih lebih baik masuk bui karena akan ada yang mengurus mereka didalam, setidaknya yang mengurus mereka adalah para sipir Lembaga Pemasyarakatan.

Apakah anggota DPR tidak memiliki pemikiran sampai kesana, membahas RKUHP tentang pasal gelandangan dengan alotnya, sampai sampai menguras energi dan waktu, sementara hasilnya sia sia. Mungkin pada saat ini para gelandangan sedang mentertawakan para anggota dewan yang terhormat itu. Semoga!

Pengirim: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement