Rabu 25 Sep 2019 16:01 WIB

Kemarau dan Emas Merah

Pada musim kemarau, kalkulator Tuhan berbeda dengan perhitungan manusia

Kemarau dan Emas Merah
Foto:

Begitu pagi tiba, Sobir menyiapkan polybag ukuran kecil untuk penyemaian langsung bibit cabai dan semangka. Sebagian lagi dia persiapkan untuk membibitkan tanaman tomat. Dia sungguh mahir dalam bertani, media tanam seperti kombinasi tanah, pupuk, dan pasir dia buat perbandingan (3:2:1). Tanah dan pupuk harus lebih banyak dari pasir.

Tanpa pasir nanti air siraman tak mudah terserap. Kalau tanpa pupuk kandang nanti kurang subur media tanamnya. Sekitar 3.000 polybag berisikan benih cabai, 1.000 polybag untuk semangka dan 500 polybag untuk tomat. Pak Dadang sempat melihat aksi dari Pak Sobir tadi dan dia memberikan saran lagi. Intinya dia melarang untuk melanjutkan.

Bahkan, saat perkumpulan warga dan ronda-ronda malam. Pak Sobir sudah jadi omongan dan dapat gelar baru, yaitu orang keras kepala. Kadang sebagian lagi mengejek karena dianggap tak sesuai dengan namanya.

Kali ini istrinya menjadi musuhnya, padahal tak pernah istrinya tak sejalan langkah dengannya. Umur bibit tadi tak terasa sudah sebulan.

Ukuran bibit cocok pindah tanam. Sawah tadi memang telah berubah menjadi lahan kering.

Dia gali lubang dengan kedalaman 10 sentimeter, dia isi lubang tersebut dengan pupuk kandang matang, dan tanah. Bibit cabai satu per satu, hari demi hari, hingga sampai seluruh bibit tersebut habis. Dia mulai putus asa sebab semua sudah mulai kering.

Air irigasi tak pula lagi jalan sebab waduk telah berubah menjadi ladang kering. Kalau sungai, sudah duluan pula menjadi lahan tegalan karena kering. Sedangkan, pada malam harinya, dia harus berantem dengan istrinya karena uang habis buat modal usaha bertani. Kalau ikut ngeronda jadi buah bibir orang lain sebab semua orang di kampung itu tak mau bertani.

Hanya dia tetap konsisten. Ketika esok hari setelah satu bulan bibit di tanam, air harus mulai membeli dari tangki-tangki mobil pemerintah. Pengeluaran akhirnya semakin membengkak.

Rupanya saat seperti itu, dia ingat pesan dari guru ngajinya. Kalau musim sudah kering, ajaklah seluruh warga untuk shalat minta hujan. Hujan itu akan segera datang.

Pak Sobir mendatangi pak RT, tetapi pak RT gagal mengumpulkan warga. Shalat minta hujan itu akhirnya dilaksakan. Sambil berdoa agar hujan segera turun. Kejadian berbagai peristiwa tak terhindarkan saat musim kemarau di kampung itu. Ibu-ibu ribut karena harga cabai sudah mencapai 100 ribu rupiah. Mereka semua petani tetapi harus beli cabai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement