Selasa 24 Sep 2019 17:58 WIB

Urgensi Reformasi Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia

Dalam Islam pemerintah yang paling tepat tata kelola hutan dan lahan

Petugas menangani kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Petugas menangani kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019).

Negeriku dikepung asap! Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan, pada 14 September 2019, karhutla (kebakaran hutan dan lahan) tersebar di tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua, dengan titik panas adalah 4.012. (mongabay.co.id, 15/9)

Luasan lahan terbakar sejak Januari-Agustus 2019 sebesar 328.724 hektar, dengan 27 persen adalah lahan gambut dan lainnya adalah tanah mineral. Dampak yang timbul, antara lain, ratusan ribu warga terkena gangguan kesehatan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), termasuk para petugas pemadaman yang setelah 100 hari bertugas memadamkan api, mulai mengalami penurunan kesehatan. Selain itu juga terjadi gangguan penerbangan dan lain-lain. Penyebabnya adalah kualitas udara yang sudah mencapai level berbahaya. (mongabay.co.id, 12/9)

Kemudian melansir dari dpr.go.id, BNPB menyebutkan bahwa penyebab dari karhutla ini 99 persen adalah akibat ulah manusia. Kapolri Jenderal Tito Karnavian bersama kepala BNPB dan Panglima TNI pun ketika meninjau lokasi karhutla dengan menggunakan helikopter, menemukan tidak adanya lahan sawit dan industri yang terbakar. Jikapun ada, hanya di bagian pinggir. "Ini menunjukkan adanya praktik 'land clearing' dengan cara mudah dan murah, memanfaatkan musim kemarau," ujar Tito. (tirto.id, 17/9)

Penanganan Karhutla Oleh Pemerintah

Terkait karhutla ini, sejak tahun 2015, penanganannya memang mendapatkan sorotan. Pemerintah melakukan berbagai upaya penanganan, mulai dari upaya koreksi sampai dengan memberi efek jera bagi pelaku, yaitu membuat lembaga restorasi gambut dan memberi sanksi penyegelan sampai dengan gugatan perdata terhadap perusahaan yang terbukti tersangkut dengan karhutla.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK mengatakan, sudah ada 43 lokasi penyegelan. Satu milik perorangan dan lainnya adalah perusahaan. Dari perusahaan-perusahaan yang dikenakan segel, ada beberapa perusahaan asing, satu dari Singapura dan tiga dari Malaysia.

Proses Penanganan Tidak Berjalan

Dalam proses penanganan karhutla ini, pada faktanya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Justru terindikasi adanya inkonsistensi dalam tata kelola lahan gambut dan kurang transparannya informasi restorasi gambut yang dilakukan. Salah satunya ketika publik belum mengetahui proses restorasi gambut oleh perusahaan, tetapi kemudian KLHK mengeluarkan regulasi P.10/2019 tentang penentuan, penetapan dan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis kesatuan hidrologis gambut (KHG). Aturan yang dikeluarkan tersebut justru memungkinkan perusahaan/korporasi untuk mengelola lahan yang masuk zona lindung ekosistem gambut. 

Selanjutnya, Syahrul Fitra, seorang peneliti dari Yayasan Auriga menyatakan bahwa peluang yang timbul dari aturan tersebut dikarenakan ada perusahaan terbesar di Indonesia, yang memerlukan bahan baku dengan tanaman yang bisa dan cepat tumbuh di lahan gambut, yakni Acacia Crassicarpa. Di mana perusahaan-perusahaan yang menanamnya, tersebar di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Riau.

Selain itu, untuk gugatan perdata pemerintah terhadap korporasi pun banyak yang belum dieksekusi, sehingga efek jera pun belum tercapai. Ditambah lagi, dukungan dari pejabat daerah pun minim. Ini tampak ketika diadakan pertemuan dalam upaya koordinasi karhutla dipusat, banyak yang tidak hadir. Hingga buktinya, bisa kita lihat kini, karhutla terjadi kembali di tahun 2019 ini. (mongabay.co.id, (15/9)

Akar Masalah Karhutla

Dari fakta-fakta di atas kita bisa melihat bahwa penanganan karhutla selama ini belum menyentuh akar masalah. Penanganannya pun masih bersifat reaktif dengan pemadaman. Juga tampak ada pola dari karhutla ini adalah sebagai modus pembersihan lahan. Karena banyak lahan-lahan yang tahun lalu terbakar, yang kemudian berubah menjadi kebun sawit. (mongabay.co.id, 15/9)

Sesungguhnya, akar masalah dari persoalan karhutla ini bukanlah berada di tataran teknis semata, tetapi terletak pada paradigma tata kelola hutan dan lahan. Irawan (2005) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan.

Dari fakta-fakta yang tampak, kita bisa melihat bahwa cara pandang pembuat kebijakan saat ini merujuk kepada ideologi yang diyakini dan diembannya, yang tak lain adalah ideologi Kapitalisme. Karakter Kapitalisme ini tampak dengan adanya penyerahan pengelolaan lahan kepada perseorangan maupun korporasi, karena kepemilikan hutan dan lahan dipandang sebagai kepemilikan individu.

Selain itu, pendekatan Kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) menyebabkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991). Bisa dilihat dari bagaimana pengelolaan lahan yang tidak tepat, sampai kemudian mengakibatkan karhutla yang berdampak merugikan banyak pihak.

Solusi Hakiki Persoalan Karhutla

Sesungguhnya solusi hakiki dari persoalan karhutla ini adalah dengan menerapkan sistem Islam dalam pengelolaan hutan dan lahan. Pengelolaan hutan dan lahan dalam Syariat Islam adalah sebagai berikut:

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.

Hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Syaikh Abdum Qadim Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:

"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: yaitu air, padang rumput (gembalaan), dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140). Hutan termasuk milik umum adalah karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).

2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).

Syaikh Abdul Qadim Zallum (1983:81-82) menjelaskan untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah sebagai wakil kaum muslimin yang berhak untuk mengelolanya.

Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara, sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.

3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

4. Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.

Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.

Dalil bolehnya negara melakukan hima adalah hadits bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam telah melakukan hima atas Naqii’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum muslimin (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) (Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, h. 105) .

6. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pkengelolaan hutan, di mana fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah). Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Dewan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).

7. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

8. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas pihak-pihak yang merusak hutan. Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. 

Sementara solusi yang diterapkan kini bersumber dari hasil pemikiran manusia, di mana akal manusia adalah terbatas dan rentan kepada asas kepentingan pribadi/golongan tertentu. Terbukti dengan kegagalan dan bencana yang tercipta. Maka sangat perlu kita bersegera, kembali kepada aturan Sang Pencipta, demi tercapainya kemaslahatan umat dan alam semesta. Wallahu 'a'lam bishawab.

Pengirim: Nur Purnama Indah Puspasari, SE,

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement