Selasa 24 Sep 2019 13:36 WIB

Kisah dari Manggarai; Budak Flores, Sultan Agung & JP Coen

Manggarai dulu dikenal sebagai Pasar Rumput dan banyak warga Betawi berjualan kuda

Delman (ilustrasi)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Delman (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu (IG: @kartaraharjaucu)

Manggarai, informasi yang datang dari wilayah tersebut kini lebih banyak soal tawuran antarwarganya. Padahal nama Manggarai mulai dikenal seantero Batavia sejak Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun stasiun kereta api di sana. Sebelumnya daerah di sana lebih dikenal sebagai Pasar Rumput.

Di tempat itu merupakan pusat penjualan rumput di Batavia. Rumput dijual untuk makanan kuda. Maklum, ketika itu angkutan yang mendominasi kota adalah delman dan sado. Di Jalan Sultan Agung —salah satu pusat perdagangan di Manggarai— terdapat markas CPM Guntur.

Pada masa Bung Karno banyak tahanan politik yang dipenjarakan di markas CPM Guntur. Konon, markas CPM itu dulunya adalah tempat para pedagang rumput berjualan. Di situ juga terdapat kobongan — tempat kuda-kuda makan dan minum. Nama, Manggarai berasal dari nama-nama budak belian yang ditempatkan pemerintah kolonial. Budak-budak itu berasal dari Manggarai, Flores.

Pada masa Belanda, Jalan Sultan Agung menjadi salah satu pusat penjualan sepeda di Jakarta, bernama Jan Pieterzoon Coen Weg — untuk mengabadikan pendiri kota Batavia. Penggantian nama menjadi Jl Sultan Agung setelah kemerdekaan sangat tepat, karena sultan dari Kerajaan Islam Mataram itu dikenal sangat membenci Belanda. Dia dua kali dia menyerang Batavia pada 1628 dan 1629. Sekalipun gagal tapi cukup merepotkan penjajah.

Berdekatan dengan Manggarai terletak Kampung Bukitduri. Belanda dulu sengaja menjadikan kampung ini sebagai koridor untuk daerah Menteng yang jadi hunian orang-orang Belanda. Koridor itu dibuat Belanda untuk mencegah masuknya penyakit dari luar ke Menteng. Maklum, penduduk Bukit Duri umumnya orang kampung. Belanda paling tidak senang pada orang kampung.

Karena dilarang masuk ke kawasan permukiman elite Menteng, para pribumi pun terpakasa mangkal di lokasi tersebut. Mereka membuka lapak dan menjual rumput di sana.

Selain rumput, pada medio 1950 warga Betawi banyak yang berjualan kuda, dan delman atau gerobak kuda. Saat itu kuda menjadi alat transportasi utama. Meski banyak warga Menteng yang saat itu memiliki kuda, para pedagang tak bisa masuk ke dalamnya, sehingga menghamparkan jualannya di wilayah yang dikenal sebagai Pasar Rumput.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement