Senin 16 Sep 2019 17:20 WIB

Subsidi Elpiji 3 Kg Dicabut Pengawasan Harus Diperketat

Banyak pihak meragukan sistem subsidi tertutup bisa cegah penyimpangan elpiji 3 kg

Petugas melakukan aktivitas pengisian ulang gas bersubsidi 3 kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Jumat (3/5/2019)
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Petugas melakukan aktivitas pengisian ulang gas bersubsidi 3 kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Jumat (3/5/2019)

Program konversi minyak tanah (krosin) ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg dimulai sejak  tahun 2007 sampai saat ini 2019 tetap berjalan walau penuh dengan dinamika. Selama 12 tahun (2007-2019) konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg bersubsidi kepada masyarakat miskin yang dilakukan oleh pemerintah melalui PT Pertamina Persero, telah berhasil menyalurkan sekitar 57,19 juta paket perdana elpiji 3 kg per kepala keluarga.

Dengan lancarnya penyaluran elpiji 3 kg itu, maka pemerintah kembali memberikan kepercayaan kepada PT Pertamina Persero untuk menyalurkan elpiji 3 kg tahap kedua. Untuk tahun 2019 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Pertamina Persero kembali mendapat mandat untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian elpiji 3 kg sebanyak lebih kurang 531,131 paket elpiji 3 kg kepada calon penerima paket terpilih, yang tersebar di 14 Kota dan Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Nusa tenggara Barat (NTB).

Baca Juga

Konversi minyak tanah ke gas elpiji 3 kg ini dilaksanakan dengan dasar hukum Undang Undang (UU) nomor : 21 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Kemudian Peraturan Presiden nomor: 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, serta Peraturan Presiden Nomor : 104 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga elpiji 3 kg.

Sedangkan tujuan dari pengalihan minyak tanah ke elpiji 3 kg ini adalah diversifikasi pasokan energi, untuk mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya krosin. Dan kemudian untuk mengurangi penyalah gunaan minyak tanah bersubsidi , serta efesiensi anggaran pemerintah dalam kaitannya dengan pemberian subsidi. Disamping menyediakan bahan bakar yang praktis dan bersih untuk rumah tangga serta usaha makro.

Disamping harganya terjangkau, terutama bagi rakyat miskin dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) di titik serah Rp 12.750 per tabung.  HET tersebut berdasarkan Peraturan Presiden Nomor : 104 tahun 2007, dan peraturan Menteri ESDM Nomor : 28 tahun 2008. Sementara untuk harga pagu belum termasuk pajak dan biaya pendistribusian sebesar Rp 4.250,_ per tabung. Dan sampai saat ini Pemerintah belum pernah menaikkan HET dari elpiji 3 kg tersebut. Sedangkan bagi elpiji non subsidi harganya berada dikisaran Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu per kg.

Namun anehnya dilapangan terjadi spekulasi harga. Pihak pangkalan mematok harga HET sebesar Rp 18 ribu sampai dengan Rp 22 ribu per tabungnya. Sementara pihak pengecer mematok harga dari Rp 22 ribu sampai Rp 25 ribu. Yang tragisnya jika elpiji 3 kg itu langka dipasaran, harga per tabungnya meroket sampai Rp 30 ribu dan bisa menjadi Rp 35 ribu per tabungnya.

Kelangkaan elpiji 3 kg dipasaran tentu menimbulkan pertanyaan. Siapa saja sebenarnya yang menggunakan elpiji 3 kg tersebut?, jika yang menggunakan masyarakat miskin tentu tidak akan terjadi kelangkaan, sebab pendistribusian yang dilakukan oleh PT Pertamina Persero tentu mengacu dengan data yang ada.

Akan tetapi kenyataannya, elpiji 3 kg yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin, ternyata juga dinikmati oleh masyarakat yang mampu dan industri. Pada hal pemerintah setiap tahunnya menambah volume elpiji bersubsidi didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terakhir pada tahun 2017 pemerintah menambah jumlah pasokan elpiji bersubsidi sebesar 709 juta ton.

Subsidi Untuk Siapa? :

Sesuai Peraturan Presiden Nomor : 104 tahun 2007, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor : 21 tahun 2007 tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga elpiji 3 kg. Bahwa elpiji 3 kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dengan penghasilan dibawah Rp 1,5 juta per bulannya, serta untuk kegiatan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Jika membandingkan harga elpiji bersubsidi dengan elpiji non subsidi, terdapat disparitas harga yang terlalu jauh, sehingga membuat penyaluran elpiji bersubsidi tidak tepat sasaran. Masyarakat dengan penghasilan diatas ketentuan, semakin banyak yang menggunakan hak warga miskin dengan membeli elpiji 3 kg bersubsidi.

Kemudian tidak ada jaminan dari agen selaku pemilik Stasiun Pengisian Bahan bakar Elpiji (SPBE) berlaku jujur dalam menjalankan bisnisnya, karena SPBE tidak saja melakukan pengisian elpiji untuk 3 kg, tapi melainkan mereka juga melakukan pengisian elpiji non subsidi.

Hal ini sungguh memprihatinkan. Jika melihat dari data penyaluran elpiji bersubsidi dan non subsidi Pertamina yaitu perbandingannya 9:1, pada hal Pertamina telah menyediakan berbagai varian LPG non subsidi, seperti bright gas 5,5 kg, dan12 kg serta LPG ukuran 50 kg untuk restoran dan hotel.

Terjadinya hal seperti ini disebabkan tidak adanya pengawasan dan tindakan tegas yang dilakukan oleh Pertamina dan pemerintah terhadap penyaluran dan pendistribusian yang menyimpang baik yang dilakukan oleh agen, pangkalan dan pengecer. Disamping belum adanya aturan atau pembatasan pembelian elpiji 3 kg bersubsidi bagi warga mampu.

Penyaluran dan pendistribusian elpiji 3 kg bersubsidi berdasarkan peraturan yang ada, jelas hanya diperuntukkan bagi warga miskin dan pelaku UKM, bukan untuk orang berada dan pelaku industri.

Sementara menurut pihak PT Pertamina Persero, mereka tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang membeli elpiji 3 kg. Karena yang melakukan pengawasan itu adalah pihak pemerintah setempat. Akan tetapi yang terjadi dilapangan, pemerintah seakan lepas tanggungjawabnya.

Akibatnya penjualan elpijij 3 kg yang seharusnya diberikan Kepada masyarakat miskin dan pelaku UKM, bagaikan tak terkontrol. Siapapun boleh untuk membelinya, baik melalui agen, pangkalan dan pengecer dengan harga yang berpariasi rata rata diatas HET.

Tujuan untuk memberikan subsidi melalui elpiji 3 kg, kepada masyarakat miskin akhirnya tidak memenuhi unsur. Akibatnya negara dirugikan  dengan pemberian subsidi yang tidak jelas penyalurannya.

Subsidi Dicabut

Setelah 12 tahun konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg berjalan (2007-2019), kemungkinan baru disadari oleh pemerintah bahwa selama ini pemberian subsidi secara terbuka melalui elpiji 3 kg yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan pelaku UKM telah terjadi penyimpangan.

Untuk mencegah penyimpangan yang terjadi agar tidak berlangsung secara terus menerus. Maka pemerintah melakukan langkah langkah yang persuasif. Subsidi elpiji 3 kg akan diberikan langsung kepada penerima. Subsidi terbuka yang selama ini diterapkan oleh pemerintah, akan dialihkan menjadi subsidi tertutup.

Menurut data yang dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), terdapat sekitar 50 juta rumah tangga yang menerima subsidi elpiji 3 kg. Sementara jumlah masyarakat yang masuk dalam data terpadu penanganan fakir miskin TNP2K tercatat sekitar 31 juta keluarga, atau sekitar 27 juta rumah tangga. Mereka inilah yang nantinya yang mendapat subsidi 3 kg, sementara selebihnya tidak lagi mendapatkan subsidi elpiji 3 kg.

Direktur Jendral (Dirjen) Kementerian Energi Sumber Daya Meneral Joko Susanto mengatakan " Dalam melaksanakan penyaluran subsidi secara tertutup, terjadi perubahan mekanisme, sehingga subsidi tidak lagi dimasukkan langsung keharga elpiji 3 kg seperti selama ini. Akan tetapi diberikan langsung kemasyarakat yang berhak mendapatkannya.

Subsidi yang diberikan ke masyarakat berupa uang elektronik yang dimasukkan kedalam kartu. Kartu tersebut akan diisi dengan saldo yang telah ditentukan. Kartu inilah yang dibawa untuk membeli elpiji 3 kg. Kartu ini akan disalurkan oleh Kementerian Sosial melalui Departemen Sosial dimasing masing daerah Kota dan Kabupaten. Dan sistim ini akan diterapkan pada tahun 2020.

Namun banyak pihak meragukan sistim subsidi tertutup ini mampu untuk mencegah terjadinya penyimpangan subsidi elpiji 3 kg, jika tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan tindakan yang tegas oleh pihak pemerintah.

Karena secanggih apapun sistim yang diterapkan, jika tidak dibarengi dengan  pengawasan dan tindakan tegas hasilnya akan sia sia. Oleh karena itu pemerintah selaku pemilik kewenangan dalam pengawasan penyaluran, pendistribusian elpiji 3 kg harus benar benar melakukan pengawasannya, jangan sampai pemerintah kecolongan dalam pemberikan subsidi elpiji 3 kg kepada orang yang tidak berhak untuk menerimanya. Semoga!

Penulis: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement