Kamis 12 Sep 2019 13:18 WIB

Sirri Gus Sabri

Gus Sabri disimpulkan mempunyai ilmu kasyaf.

Sirri Gus Sabri
Foto:

Acara haul sudah dimulai sekitar jam delapan malam. Namun ada yang kurang. Bukan karena jumlah hadirin yang sedikit. Bukan. Bahkan panitia kewalahan menyediakan akomodasi untuk tamu undangan yang membludak. Kang Parmin sebagai penanggung jawab acara pun merasakan ada yang belum lengkap. Iya. Gus Sabri. Seorang yang fenomenal ini tidak terlihat sama sekali di acara.

Tengah malam, acara barulah purna. Selepas acara, nampaknya sesuai perkiraan Kang Parmin. Ia mendapat perintah langsung dari Kiai Mustofa untuk mencari keberadaan Gus Sabri. Tengah malam itu juga Kang Parmin segera melaksanakan dawuh untuk mencari Gus Sabri.

Hampir di tiap sudut pondok sudah diperiksanya. Di gubuk sawah tempat yang biasanya dipakai Gus sabri mujahadah malam juga kosong tidak berpenghuni. Kang Parmin mencari Gus Sab ri hingga ke perkampungan warga. Hasilnya juga nihil. Kang Parmin nyaris putus asa.

Malam terus beranjak. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Kang Parmin masih bertahan di jalanan. Tiba-tiba ia seperti mendapat ilham. Nalurinya menuntun Kang Parmin pada pesarean keluarga ndalem Kiai Ridwan berada di sebelah utara pos jaga keamanan pesantren. 

Biasanya Gus Sabri selain bermalam di gubuk persawahan, beliau juga sering berada di pesarean. Tanpa berfikir panjang. Kang parmin segera meluncur ke tempat yang ia perkirakan tersebut.

Area pesarean tampak sepi. Hanya suara gemerisik serangga malam yang bersahutan memecah keheningan. Cahaya bulan sempurna bersinar. Sorotnya menembus hingga ke sebuah cungkup makam. Kang Parmin tertegun melihat seseorang tersedu di sana. Dialah Gus Sabri.

Beliau berpakaian serba putih dan tidak nampak seperti biasanya. Gus sabri terlihat sedang duduk bertafakur di depan pesarean almarhum Kiai Ridwan. Kang Parmin belum berani memanggil.

Ia hanya berdiri di belakang Gus Sabri dengan menyimpan serentetan pertanyaan. Namun seperti sudah mengetahui siapa yang datang. Gus Sabri menyapa Kang parmin.

"Min, kamu nanti bilang sama Kiai Mus. Saya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Engge Gus," Kang Parmin menyahut singkat.

"Kamu tahu, Min, mengapa aku tidak bisa ikut menghadiri acara haul di pesantren?" Gus Sabri seperti sudah tahu apa yang menjadi pertanyaan Kang Parmin.

"Mboten semerap, Gus," jawab Kang Parmin singkat.

"Karena tamu-tamu dari kota besar itu lho, Min. Yang duduk di barisan depan, berjas dan berdasi," terang Gus Sabri.

"Oh...Mereka para donator, Gus. Orang penting dari kota besar katanya. Ada apa dengan mereka, Gus?" Tanya Kang Parmin.

"Awalnya aku berniat hadir pada acara tadi malam, Min. Namun aku urungkan."

"Kamu tahu, Min? Aku melihat hampir semua tamu itu, meskipun tidak semuanya, yang katamu tadi orang penting itu, semua berkepala anjing. Menyeringai dengan liur yang berseleweran menetes dari mulut mereka. Seketika juga, aku pergi menjauh, Min. Tak sudi aku berada bersama orang-orang seperti itu." Gus Sabri Nampak serius bercerita.

Kang parmin tercengang mendengar cerita Gus Sabri. Ia jadi teringat, di salah satu media memberitakan ihwal tentang kasus-kasus yang menyerempet para kaum elite tersebut. Namun ujung-ujungnya ketika di proses, mereka masih bisa lolos dari jerat hukum.

Kang Parmin percaya bahwa penglihatan Gus Sabri benar adanya. Memang di dunia ini ada hal lain yang tidak bisa dinalar, termasuk kelebihan yang dimiliki Gus Sabri.

"Sudah, Min. Bilang sama Kiai Mus. Untuk sementara ini aku akan pergi. Ke mana kakiku akan melangkah, biarlah mengikuti kata hati. Nanti jika pesantren kembali bercahaya. Aku akan kembali," ucap Gus Sabri.

Kang Parmin mengangguk dan hanya bisa diam. Sebuah pelajaran amat berharga ia dapatkan. Setelah pamit undur diri, Kang Parmin segera kembali ke pesantren. Dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Ia memutuskan akan memberanikan diri menyampaikan cerita dari Gus Sabri pada Kiai Mus. Kang Parmin yakin, Kiai akan dengan sangat arif menanggapi permasalahan ini.

Dari kejadian ini, Allah telah membuka setitik rahasia yang tersembunyi pada orang-orang yang berhati putih seperti Gus Sabri. Seorang yang punya tingkat keikhlasan dan ketawadhuan yang benar-benar murni.

Kelebihan yang beliau miliki sejatinya adalah titipan-Nya. Menjadi sebuah karunia atau ujian? Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Sampai cerita ini ditulis, Gus Sabri belum pernah sekalipun tampak kembali ke pesantren. Lalu, di manakah beliau berada? Wallahu a'lam bisshowab.

Gresik, Agustus 2019

TENTANG PENULIS: JADID AL FARISY

Lahir di desa Kendal kecamatan Sekaranpada tahun Sabda Pujangga Kusumaning Bumi. Saat ini masih aktif sebagai pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan dan MIMA NU Kendal Sekaran. Karyanya berupa cerpen dan puisinya bisa dijumpai dalam antologi bersama Literacy Institute Bocah Luar Pagar, Ini Hari Masjid Tumbuhdi Kepala, Hikayat Daun yang Jatuh. Selain itu karyanya juga terantologikan dalam Muhasabah warna, sebuah antologi puisi bersama Lesbumi PC NU Babat. Sedangkan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Kopi Kang santri. Aktif dalam komunitas penggiat literasi Lamongan (Literacy Institute of Lamongan).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement