Senin 09 Sep 2019 16:59 WIB

Muharram, Meniti Masa Depan Umat

Hijrah membawa harapan baru bagi masa depan umat serta rahmat dari Allah SWT

Sejumlah peserta mengikuti pawai obor elektrik pada Jakarta Muharram Festival di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (31/8).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah peserta mengikuti pawai obor elektrik pada Jakarta Muharram Festival di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (31/8).

Tahun Baru Hijriyah, adalah momentum yang merefleksi peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. Perjalanan hijrah beliau saw dari Makkah ke Madinah sepintas hanya sebuah perjalanan dari satu kota ke kota yang lain.

Namun sejatinya, beliau saw telah mencontohkan dan membuktikan bahwa hijrah beliau bukan sebatas pindah daerah. Melainkan adanya Madinah, adalah tempat yang telah siap dengan penerapan Islam secara kaffah di dalamnya. Yakni dalam wujud Negara Islam.

Baca Juga

Hijrah menjadi momen yang mengawali kalender Tahun Baru Islam, atas usulan ‘Ali bin Abi Thalib ra. Alasannya, karena itulah hari pertama, di bulan pertama, setelah kemenangan yang mereka didapatkan pada Bai’at Aqabah II.

Bai’at yang menandai penyerahan kekuasaan (istilam al-hukm) dari kaum Anshar kepada Nabi saw. Bai’at Nushrah wa Man’ah, yaitu sumpah setia untuk memberikan pertolongan dan perlindungan kepada Nabi dan agamanya.

Sebagai catatan, perubahan tata aturan kehidupan di Madinah tentu berubah total pasca peristiwa hijrah. Mereka sebelumnya hidup secara musyrik dengan agama nenek moyang.

Namun dengan kesadaran yang tumbuh setelah mereka bertemu dengan Rasulullah saw saat musim haji di Makkah, mereka kemudian bersedia masuk Islam. Mereka juga menyadari bahwa kehidupan mereka selama musyrik adalah kehidupan yang tidak layak dipertahankan.

Mereka sebelumnya melakukan zina, memakan riba, menghalalkan khamr, terbiasa mencuri, serta kemaksiatan yang lainnya, berubah menjadi kesadaran penuh untuk meninggalkan semua itu. Setelah bertemu Rasulullah saw di musim haji, mereka paham akan arti penting hidup yang terisi dengan rahmat Allah SWT. Dan ini semua terjadi tanpa kekerasan.

Dari sini, kita kemudian bisa mengetahui bahwa makna hijrah Rasulullah saw bukan sebatas ibarat migrasi. Hijrah beliau adalah penanda dimulainya penerapan sistem Islam dalam sebuah negara.

Dakwah Rasulullah saw yang telah menyentuh warga Madinah yang sedang berhaji adalah dakwah untuk mengubah cara pandang dan pola pikir mereka terhadap kehidupan. Bahwa hidup manusia berasal dari Allah, hidup di dunia dengan terikat pada aturan Allah, dan setelah kematian akan ada pertanggungjawaban kepada Allah.

Jadi sunggu keliru ketika hijrah diopinikan sebagai peristiwa kudeta yang berdarah. Jika yang terjadi demikian, maka bisa dipastikan hijrahnya tidak sepenuhnya meneladani Rasulullah saw.

Pasalnya, hijrah membawa harapan baru serta rahmat dari Allah SWT. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 218: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Karena itu, tentu mustahil jika proses hijrah diwarnai pelanggaran terhadap aturan-Nya. Apalagi jika dilaksanakan dengan langkah-langkah teknis yang tak sesuai Islam.

Mari sejenak menengok tata aturan kehidupan saat ini yang kian jauh dari aturan-Nya. Kita sekarang tak ubahnya tengah terjebak dalam kemunduran hidup di dunia modern. Wujud pelanggaran tata aturan Allah begitu banyak terjadi. Rusaknya umat membuat mereka tak lagi dikenali sebagai umat Islam, umat terbaik. Eksploitasi terjadi di berbagai sisi; ekonomi, sumberdaya alam, individu, keimanan, dsb. Umat Islam sebagai umatnya Rasulullah saw, umat yang terbaik itu bahkan seringkali terdzhalimi.

Yang dengan kondisi seperti ini, tentu kecil kemungkinan bagi kita untuk dapat meraih rahmat Allah. Karena rahmat-Nya adalah masa depan yang dapat diraih jika dan hanya jika aturan-Nya diterapkan secara menyeluruh dalam berbagai sendi kehidupan, selayaknya masyarakat Madinah saat Rasulullah saw hijrah ke sana.

Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Pengirim: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement