Senin 09 Sep 2019 14:30 WIB

Menjadi Seorang Muslim Sejati

Pengakuan seorang muslim sejati berasal dari meng-Islam-kan akidah dan ibadah

Berdoa Ilustrasi
Foto: Antara
Berdoa Ilustrasi

Tidak sedikit orang mengaku muslim sebatas tampilan, atau karena dilahirkan dari orang tua yang muslim, atau karena mengikuti lingkungannya yang mayoritas muslim. Tidak cukup seseorang mengaku sebagai muslim, ia harus memahami arti pengakuannya sebagai muslim. 

Ada hal yang harus ada pada diri seseorang agar menjadi seorang muslim yang sejati, bukan pengakuan tanpa bukti, dan agar pengakuannya sebagai muslim itu pengakuan yang jujur dan dapat dipertanggung jawabkan.

Fathi Yakan dalam bukunya ‘Komitmen Muslim Sejati’ menjelaskan, agar pengakuan seseorang sebagai muslim itu benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan, maka ada hal yang harus dilakukan sebagai konsekuensi atas pengakuannya sebagai muslim. 

Pertama, mengislamkan akidah. Pengakuan sebagai muslim yang harus dilakukan adalah mengislamkan akidah, yaitu akidah yang benar (salimul aqidah) sesuai dengan Alquran dan Sunah. Mengimani apa yang diimani oleh kaum muslimin pertama, salafussaleh dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalehan, ketakwaan, dan pemahaman yang lurus tentang Islam. 

Kedua, mengislamkan ibadah. Ibadah merupakan puncak ketundukan dan kesadaran mengenai keagungan Allah. Ibadah sebagai penghubung antara makhluk dengan Sang Pencipta, dan berpengaruh dalam interaksi antar sesama makhluk. Sehingga, dalam diri seseorang akan terinternalisasi adanya hablum minallah dan hablum minannas.

Ketiga, mengislamkan akhlak. Tujuan utama dalam Islam adalah agar kaum muslimin memiliki akhlak yang mulia. Agar dapat mengislamkan akhlak, konsekuensinya harus menghiasi diri dengan sikap wara (hati–hati) terhadap syubhat, menahan pandangan, menjaga lidah, malu, pemaaf dan sabar, jujur, rendah hati, menjauhi prasangka, ghibah, dan mencari cela orang lain, dermawan dan pemurah, dan menjadi teladan bagi orang lain.

Keempat, mengislamkan keluarga dan rumah tangga. Tidak cukup menjadi muslim seorang diri, karenanya seorang muslim yang sejati hendaknya dapat mengajak (berdakwah) dan berjuang agar masyarakat yang berada di sekitarnya juga menjadi masyarakat muslim yang sejati. Dan, masyarakat terdekat itu adalah keluarga. 

Kelima, mengendalikan hawa nafsu. Pergulatan melawan nafsu akan terus terjadi selama menjalani kehidupan. Sebagai seorang muslim hendaknya selalu berjuang untuk mengalahkan nafsu. Karena itu, sungguh beruntung orang yang mau menyucikan jiwanya dan merugi orang yang mengotori dirinya.

Ada tiga tipe orang dalam melawan nafsu. Yaitu, tipe orang yang mampu mengalahkan hawa nafsu; yang selalu kalah melawan nafsu, dan yang kadang menang dan kadang kalah dalam melawan nafsu. Nah, termasuk tipe yang manakah kita?

Sepuluh pintu masuk yang dijadikan setan sebagai sarana melalaikan manusia agar selalu kalah melawan nafsu. Yaitu: ambisi dan buruk sangka; kecintaan kepada hidup dan panjang angan–angan; keinginan untuk santai dan bersenang–senang; bangga diri; sikap meremehkan dan kurang menghargai orang lain; dengki; riya dan keinginan dipuji; kikir; sombong; dan tamak.

Dan, sepuluh sarana menutup pintu masuk setan: sikap percaya dan menerima; rasa takut terhadap datangnya kematian yang tiba–tiba; menyadari akan hilangnya nikmat dan keburukan hisab; mengingat karunia dan takut akan akibat yang menimpa; mengenali hak dan kehormatan orang lain; sikap menerima dan rela pemberian dari Allah kepada makhluk-Nya; keikhlasan; sadar akan sirnanya semua yang ada di tangan makhluk dan kekalnya pahala di sisi-Nya; rendah hati; percaya dengan apa yang ada di sisi-Nya; dan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia.

Keenam, yakin masa depan adalah milik Islam. Keberadaan Islam sebagai agama yang berasal dari Allah menjadikannya lebih layak dan dapat mengatur kehidupan, mengendalikan dan memimpin umat manusia. Kepercayaan kepada Islam harus mencapai tingkat keyakinan bahwa masa depan adalah benar-benar milik Islam. 

Faktor yang mendorong keyakinan masa depan milik Islam antara lain rabbaniyah manhaj Islam; universalitas manhaj Islam; elastisitas manhaj Islam; kelengkapan manhaj Islam; dan keterbatasan sistem wadh’iyah.

Jika seseorang dapat melakukan hal di atas, maka akan dapat menjadikan hidupnya hanya untuk Islam, sebagaimana ikrar yang selalu diucap ulang, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’am [6]: 162).

Semoga Allah membimbing kita kaum muslimin agar menjadi sorang muslim yang sejati. Amin. 

Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Persinalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement