Rabu 04 Sep 2019 20:40 WIB

Perppu tanpa Juknis, Eksekusi Vonis Kebiri Kimia Tertunda

Tertundanya kebiri kimia, selain perppu lahir tanpa juknis, juga ketiadaan algojo.

Kebiri kimia (ilustrasi)
Foto: www.sydneycriminallawyers.com.au
Kebiri kimia (ilustrasi)

Indonesia kini menerapkan hukum terobosan baru bagi para penjahat yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak anak dibawah umur yang dilakukan oleh predator anak. Hukum terobosan baru itu adalah hukum tambahan bagi setiap orang yang melakukan kejahatan sebagai predator anak. 

Selain diganjar dengan hukuman penjara berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), si pelaku juga dikenai dengan hukuman kebiri kimia (chemical castration). Kebiri fisik biasanya dilakukan dengan jalan mengangkat testis sehingga disamping sperma tidak lagi menghasilkan, juga produksi hormon testosterone yaitu hormon yang memicu gairah seksual pada laki-laki dapat ditekan pada level terendah.

Sedangkan kebiri kimia dengan fungsi yang sama, tapi hanya praktiknya yang berbeda, yakni dengan melakukan suntikan, atau dengan cara memasukkan cairan kimia tersebut kedalam tubuh melalui kerongkongan.

Munculnya hukum kebiri kimia terhadap predator anak, setelah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak secara masif di Indonesia. Kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa bukan saja terjadi dikota kota besar, tapi melainkan juga terjadi dipelosok pelosok desa di Tanah Air.

Para predator anak dalam melakukan kejahatan terhadap anak, tidak hanya sekedar melakukan pelecehan seksual, tapi juga melainkan melakukan pemerkosaan, dan setelah puas menyalurkan nafsu birahinya, lalu membunuh para korbannya.

Puncak dari perlakuan sadis yang dilakukan oleh predator anak adalah yang terjadi di Bengkulu terhadap seorang anak yang bernama Yuyun meninggal dunia akibat diperkosa oleh 14 orang pria.

Akibat dari perlakuan sadis yang dilakukan oleh para predator anak, sehingga menimbulkan keresahan dan ketakutan dikalangan masyarakat, terutama dikalangan para orang tua yang memiliki anak anak wanita dibawah umur.

Untuk melindungi anak anak  dari kejahatan yang dilakukan oleh para predator anak, maka pemerintah melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Kemudian Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ini pula yang diterapkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur terhadap pelaku pencabulan anak yang dilakukan oleh Muhammad Aris.

Vonis PN Mojokerto itu, kemudian diperkuat pula oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, dengan menjatuhkan vonis terhadap Muhammad Aris berusia 21 tahun, warga desa Sooko, Kabupaten Mojokerto selama 12 tahun penjara, dan denda sebesar Rp 100 juta, subsider 6 bulan kurungan dan ditambah dengan hukuman tambahan kebiri kimia.

Dalam amar putusan PN Mojokerto tersebut hakim menyatakan Muhammad Aris bersalah karena telah melakukan pencabulan terhadap sembilan orang korban yang masih berusia anak anak.

Dengan adanya vonis tambahan kebiri kimia yang dijatuhkan oleh PN Mojokerto yang kemudian diperkuat oleh putusan PT Surabaya terhadap Muhammad Aris. Maka untuk pertama kalinya putusan pengadilan dengan menggunakan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Ttentang Perlindungan Anak. Dan untuk yang pertama kali pula hukuman kebiri kimia dilakukan di Indonesia.

Mencari algojo

Menanggapi tentang diterapkannya hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, meyakini hukuman kebiri kimia akan memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan sexual terhadap anak atau predator anak.

Agus mengatakan dengan diterapkannya hukuman kebiri kimia, maka akan ada ketakutan bagi mereka yang punya potensi melakukan kejahatan yang sama. Mereka akan berpikir lagi untuk melakukan itu.

"Kebiri kimia merupakan perintah UU maka semua harus menghormati apa yang sudah diputuskan oleh UU " kata Agus, di sela-sela acara kegiatan sehari bersama anak di Kementrian Sosial Rabu 28 Agustus 2019.

Yang menjadi persoalannya kini adalah, siapa yang akan menjadi algojo untuk melakukan eksekusi kebiri kimia yang telah dijatuhkan vonisnya oleh pengadilan? Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan tegas menolak jika ditunjuk sebagai algojo untuk mengeksekusi kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak yang telah divonis oleh pengadilan.

Menurut Ketua IDI Daeng M Faqih, jika dokter ditunjuk sebagai algojonya IDI akan menolaknya karena kebiri kimia terhadap predator anak sebagaimana diatur oleh UU, bukanlah sesuatu untuk pelayanan medis, melainkan hukuman.

Daeng menyebutkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UU Kesehatan, telah melarang dokter melakukan eksekusi. Tenaga medis tidak boleh bersentuhan dengan masalah eksekusi karena akan melanggar komplit norma (Republika 28 Agustus 2019).

Adanya penolakan IDI untuk menjadi algojo eksekusi kebiri kimia terhadap predator anak yang telah divonis oleh pengadilan, membuat vonis kebiri kimia itu menjadi mengambang. Karena kebiri kimia itu hanya dapat dilakukan oleh paramedis, disebabkan hal tersebut menyangkut tentang kesehatan.

Juknis:

Lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, ternyata tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis (juknis)-nya. Dengan adanya penolakan IDI sebagai algojo untuk mengeksekusi kebiri kimia membuat kesulitan bagi jaksa selaku eksekutor hukum kebiri kimia.

Untuk menjalankan eksekusi kebiri kimia, pihak Jaksa harus menunggu lahirnya Juknis. Dimana juknis tentang kebiri kimia ini tentu tidak melibatkan IDI.

Kendati, menurut Ketua IDI, untuk melaksanakan eksekusi kebiri kimia tidak harus dengan menyuntikkan cairan kimia, tapi juga dapat dilakukan dengan cara meminumkan cairan kimia tersebut kepada terpidana.

Jika eksekusi dilakukan dengan cara meminumkan cairan kimia kepada siterpidana, tentu eksekusi kebiri kimia itu tidak lagi melibatkan tenaga medis. Dan eksekusi dapat dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor hukum kebiri kimia.

Namun, yang perlu untuk perhatikan efek samping dari meminum cairan kimia tersebut terhadap kesehatan tubuh siterpidana. Jangan sampai akibat meminum cairan kimia itu, siterpidana lantas mati.

Jika hal seperti ini terjadi, terdapat pelanggaran hukum dan UU yang dilakukan oleh pihak eksekutor karena siterpidana selaku predator anak bukan dijatuhi vonis mati, melainkan vonis kebiri kimia untuk memadamkan rangsangan seksual dalam tubuhnya.

Oleh karena itu, juknis selaku petunjuk pelaksanaan eksekusi kebiri kimia juga harus memperhatikan dampak kesehatan terhadap siterpidana. Karena siterpidana juga manusia yang yang perlu untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Penulis: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement