Kamis 29 Aug 2019 20:37 WIB

Pemindahan Ibu Kota Pilihan Radikal karena Masalah Karhutla

Kalimantan adalah daerah dengan tingkat bencana karhutla cukup tinggi.

Presiden Joko Widodo bersiap memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo bersiap memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Pemindahan ibu kota merupakan pilihan yang sangat radikal dan penuh risiko. Namun, tidak menutup kemungkinan ada manfaat yang dapat diperoleh. Kita tahu bahwa menyingkirkan Jakarta dari posisi ibu kota sepadan dengan risikonya.

Langkah ini pernah diambil negara seperti Australia dan Brasil yang memindahkan ibu kota walau dengan anggaran yang besar tetapi sebanding dengan hasil yang diperolehnya. Kalimantan adalah daerah dengan tingkat bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) cukup tinggi. Selama 10 hari terakhir ini saja ada ribuan titik kebakaran hutan, ini menunjukan bahwa dengan pindahnya ibu kota ke Kalimantan tidak kemudian menyelesaikan persoalan, melainkan menambah pelik permasalahan yang ada.

Seyogianya pemerintah saat ini harus benar-benar bisa menyelesaikan persoalan karhutla dengan sebaik mungkin. Tegakkan hukum dengan serius dengan menindak tegas kejahatan korporasi karena sebagian besar faktor inilah yang menyebabkan kebakaran hutan terus meluas.

Jika memang benar Kalimantan yang akan menjadi ibu kota, daerah ini harus menjadi daerah yang layak huni, rendah risiko bencana, sehingga tidak seperti saat ini yang menjadi buah cibiran dari dunia internasional. Buktinya, saat ini saja di Palangkaraya menyandang status siaga yang menyebabkan pengaturan ulang jadwal aktivitas kerja dan pendidikan. Ini ke depan tidak boleh terjadi kembali.

Pemindahan ibu kota adalah langkah awal yang baik, diharapkan dapat mencapai pemerataan populasi, pemerataan infrastruktur, dan ekonomi. Apalagi, tantangan saat ini sangat besar di era revolusi Industri 4.0 dan akan mulainya era society 5.0. Maka kemudian pilihan radikal tersebut harus diimbangi dengan percepatan pembangunan di seluruh sektor.

PENGIRIM: FANI RUUSUL MASAIL, Mahasiswa Pascasarjana Hukum Unas dan Pengurus di LBH Master Indonesia

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement