Jumat 30 Aug 2019 05:17 WIB

Rabah dan Mirakel Burung-Burung

Berapa puluh ribukah anak-anak Palestina yang tak punya gairah hidup

Rabah dan Mirakel Burung-Burung
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Rabah dan Mirakel Burung-Burung

REPUBLIKA.CO.ID, Sebentang negeri purbawi. Dihaki abadi. Lungkrah. Dengan harga-harga mati. Tidakkah Adam Yang Tanah berhak atas kehidupan di mana pun terbuka? Dan Abraham terpanggil meninggalkan Haran menuju Kanaan. Untuk menjadi Bapak Bagi Semua?

Di negeri ini, di ranah kelahiran serumpun nabi, sudah berpuluh tahun seruan-seruan penguasa Israel bergaung bersama ayat-ayat suci yang terus mendaku, namun tak kunjung genah dengan Tuhan. Yang terus menjunjung, namun tak kunjung berdamai dengan “Tanah Yang Dijanjikan.” Yang terus mengumandangkan, “Kamilah cahaya di antara bangsa-bangsa”, namun tak kunjung membuktikannya di depan tolok ukurnya yang sejati.

Tel Shiloh! Tel Shiloh!

Akan kami pancangkan tugu penanda di situs sucimu. Juga di Bethel. Juga di Hebron.

Kami adalah anak-anak rindu. Dari ribuan tahun lampau.

***

Di tengah udara musim yang dingin, seruan-seruan tadi melintas hingga ke Rafah di Jalur Gaza, bersama desis buldoser berbobot tujuh ribuan kilogram yang menggerus segala yang hidup, yang berabad-abad diwarisi, dan segenap yang tegak dengan bayang-bayang. Juga segenap sarana peradaban yang dalam milenia terbilang.

Dan kendaraan baja itu terus bergerak maju. Terus berdesis. Dengan moncong mata pisau lebar raksasa yang beroda rantai gigi-gigi baja.

Ssserrr ssserrr ssserrr!

Ia melumat tak terhitung rumah, sekolah, gereja, masjid, dan pekuburan. Ia menumbangkan pepohonan, menggusur tetanaman rumah kaca. Ia meremuk kuntumkuntum anggrek serta kebun-kebun buah rakyat Palestina. Ia juga menghancurkan sumur-sumur dan merampas sumber-sumber mata air mereka.

Dan seruan-seruan itu silih berganti.

Wahai yang tak berakar di sini pada tiga ribuan tahun silam, kami menghendaki seluruh tanah leluhur kami kembali. Kanaan seutuhnya!

Sudah ribuan tahun kami bergelombang terusir. Oleh maharaja-maharaja Assyria, Babilonia, Romawi. Toh di sini tetap kamilah yang mesti abadi!

Kami adalah pemilik sah Judea dan Samaria. Pewaris murni Tanah Yang Dijanjikan. Atas nama Torah!

Ssserrr ssserrr ssserrr!

Eretz Yisrael! Eretz Yisrael!

Berhadapan lima penggalah di depan buldoser tegak seorang perempuan muda. Namanya Rachel. Kulitnya berona platina. Jaketnya terang jingga. Rambutnya pirang tembaga. Dia berdiri di antara buldoser dan rumah satu keluarga Palestina. Bersama beberapa kawan aktivis dari sejumlah belahan dunia, Rachel datang dari Olympia. Sepenggal dari ibu kota Amerika.

Dia membawa pesan-pesan kedamaian. Tapi, buldoser itu tak kenal kedamaian. Ia terus menuju ke arahnya. Dan dia tegak sendiri. Sungguh sendiri.

Di situ, Rachel sia-sia mencari Amerika yang selama ini meneduhinya. Sempat dia terpikir tentang hidup dan mati. Sekelebat.

Sempat dia ragu dan gentar. Jauh dalam kesendirian.

Tapi, dia sudah berkata tentang itu. Seperti premonisi.

“Bagaimana jika kesendirian kita bukanlah tragedi? Bagaimana jika itulah yang membuat kita sanggup menyampaikan kebenaran tanpa jeri?”

Lalu, di telinganya terngiang kembali suaranya di usia praremaja. Hilang timbul. Seperti dari dimensi lain. Sepuluh tahun sebelumnya.

“Aku tegak di sini karena membela anak-anak sebumi. Aku tegak di sini karena cinta. Aku tegak di sini karena di mana-mana anak-anak menderita. Dan 40 ribu orang mati kelaparan setiap hari ….”

Maka, dia pun tegar menghadapi buldoser itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement