Senin 26 Aug 2019 16:07 WIB

Proyek Pencabut Nyawa; Tuhan Harga Mati

Proyek ini seperti menggali liang kubur bagi kematiannya

Proyek Pencabut Nyawa
Foto:

Adakah yang lebih berbahaya dari jiwa yang terancam. Pertemuan itulah yang membuatnya selalu merasa ada moncong senjata mengintainya. Hamid termasuk lelaki lurus yang tak mengenal dunia politik. Namun, ia tahu ancaman apa yang mesti dihadapi dari penguasa yang dengan kuat men cengkeram kursi kekuasaannya.

Dan mengerjakan proyek ini seperti menggali liang kubur bagi kematiannya. Kecuali dewi fortuna berkata lain.

"Darah kita ini berharga jika pun mati, Hamid. Seberapa lama kau menderita dengan kemiskinan karena ulah kekuasaan yang tidak kau sadari itu, Hamid? Aku berjuang demi rakyatku ini. Segalanya mesti kita lakukan. Mereka harus dijatuhkan, Hamid," Suatu ketika, Hamdan dengan menggebunya berkata padaku saat pertama kali ia bertemu denganku setelah sekian lama menghilang.

Dan kini aku mesti bersiap untuk sesuatu hal yang mungkin terjadi.

Siapa yang menyebar selebaran itu? Info awal sudah kami dapatkan. Saya kira kita sudah tidak asing lagi siapa yang selama ini selalu bikin kacau.

"Dia lagi. Habisi sajalah."

"Jangan. Itu bisa menjatuhkan presiden. Terlalu kasat mata untuk menghabisi dia. Biarkanlah dia menghirup udara segar negeri ini. Biar dia tahu jasa kita selama ini. Negeri ini dibangun oleh siapa."

"Betul, betul. Dasar orang tak tahu balas jasa. Jadi, bagaimana caramu?"

"Yang perlu kita habisi adalah orang-orang di bawahnya. Aktor intelektual hanya perlu menghirup dinginnya penjara."

Namun, para eksekutor harus mencium liang kubur. Siapa yang kau maksud eksekutor?

Maka disusunlah cara menyingkirkan musuh-musuh negara itu. Bedebah itu harus disingkarkan karena melawan hukum-hukum Tuhan yang berlaku di negeri ini. Mereka harus musnah. Hanya kami yang bisa memusnahkannya. Kami menjalankan tugas demi sesuatu yang kekal.

Dari tempat yang jauh, seseorang membereskan senjata. Bagi Penembak Serius sepertinya, pekerjaan itu adalah misi jihad membela penguasa yang menegakkan hukum-hukum Tuhan di negara ini. Mereka yang menentangnya memang harus disikat.

Dari jarak tak diduga, tampak iring- iringan kepala negara berjalan pelan melewati kerumunan rakyat yang menyambutnya. Namun, bukan itu target yang diintainya. Diisapnya dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal sebatang itu.

Musuh negara adalah musuh Tuhan, Ia mulai menghitung mundur. Memastikan target yang dilihatnya sudah benar-benar ada dalam bidikannya. Tinggal sedikit lagi ia menarik pelatuknya.

Dari jendela kamar yang paling tidak diketahui. Dari gedung megah itu ia melihat betapa para konglomerat kapitalis itu berlomba-lomba menembus langit membangun gedung-gedung menjulang.

Hamid masih mematung lama. Ia ingin pergi menyelamatkan Hamdan tapi ia tak tahu di mana posisinya saat ini.

"Hamid, cepat pergi!"

Suara Hamdan terngiang lagi. Ia sudah berjalan beberapa langkah dari pintu kamarnya di lantai dua. Ia seharusnya tahu uang 100 juta tidak ada apa-apanya daripada menantang maut di tangan penguasa itu.

Hamid melangkah kembali masuk ke kamarnya. Ia memang harus pergi. Ia memercayai Hamdan.

Kakinya sampai di depan pintu. Tangannya merogoh saku celana dan membuka kunci pintu. Hingga tiba-tiba terdengar desing peluru dari kejauahan. Itu suara-suara ramai orang dari pasar tak jauh dari tempat kosnya. Suara-suara teriakan histeris makin jelas terdengar. Orang-orang berlarian.

"Presiden tertembak, presiden tertembak..."

"Hah, apa? Ada presiden datang di dekat sini?"

"Presiden tewas terbunuh..."

Suara-suara itu makin jelas terdengar.

Presiden tertembak? Dari tempat yang jauh, Penembak Misterius membereskan kembali alatnya.

Ia sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Musuh negara harus ditumpas.

Hamid berusaha menelepon kembali Hamdan. Nomornya tidak aktif. Aduh, ada apa ini sebenarnya?

Penembak misterius itu melepas jaket hitamnya. Ia mengganti kostumnya seperti orang kebanyakan. Ia kenakan kemeja, sedikit parfum disemprotkan ke badannya. Tugas selesai.

Baru saja ia ingin melepas ikat hitam di kepalanya. Ponselnya berdering. Dilihatnya sebuah pesan pendek. Hamdan, ponselmu tidak aktif. Aku meneleponmu berkali-kali. Temui aku di kedai kopi biasa.

Ia melepas ikat hitam di kepalanya lalu melipatnya sampai tulisan `Tuhan Harga Mati' yang tertera di atasnya tak kelihatan lagi.

"Aku harus segera temui Hamid," ujarnya lirih.

TENTANG PENULIS: RESTU ASHARI PUTRA

Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985.Belajar menulis di FLP Bogor. Sebelumnya sempat belajar sastra di Majelis Sastra Bandung (MSB) dan mendirikan Komunitas Rumput. Saat ini tinggal di Bogor bersama keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement