Jumat 16 Aug 2019 14:51 WIB

Riwayat Petani Tembakau

Musim yang tak menentu membuat banyak petani tak berani menanam tembakau

Riwayat Petani
Foto:

 

Orang-orang kampung sudah mulai membincangkan soal tembakau. Mereka menganggap para petani tembakau tahun ini akan beruntung. Bagaimana tidak, hujan sudah tidak turun lagi sejak sebulan terakhir. Para petani tembakau sangat girang karena melihat tembakau yang mereka tanam tumbuh baik dan kualitasnya menjanjikan.

 

Namun, kenyataan itu tak sepenuhnya membuat Ahmad lega. Sebab, ia kembali harus menyiram tembakau-tembakau miliknya setiap pagi dan sore sampai memasuki usia pematangan.

Sementara itu, usia tembakau Ahmad masih dua setengah bulan. Tingginya masih setengah meter. Tetapi, ia cukup bahagia karena daun-daunnya tampak lebar dan tebal. Sebuah bentuk daun yang berkualitas, begitu kata pengamat tembakau.

 

Untuk menghasilkan tembakau seperti yang diinginkan, Ahmad memang tidak memperlakukan tembakau-tembakaunya asal-asalan. Ada beberapa tahapan yang ia lalui dalam menanam dan merawat tembakau.

Mula-mula ia menyiapkan bibit tembakau yang sudah berusia minimal 35 hari. Hal itu ia lakukan karena akar tembakau pada usia tersebut sudah kuat dan cukup tahan dari paparan sinar matahari. Ia juga memilih hari penanaman pada sore hari untuk menghindari bibit tembakau cepat layu.

Namun, sebelum tembakau ditanam, tak lupa ia menggemburkan tanah tegal terlebih dahulu dengan kedalaman minimal 25 sentimeter, lalu membuat lubang secara berbanjar dengan kedalaman kira-kira 10 sentimeter. Pada lubang-lubang itu, ia memasukkan pupuk kandang sebanyak kira-kira sekepal tangan orang dewasa, lalu menutupnya dengan tanah biasa setebal 3-5 sentimeter, lalu kembali membuat lubang sebesar kira-kira cukup untuk menanam bibit tembakau. Setelah semua rampung, baru ia menanam tembakau dan diakhiri dengan pengairan agar tembakau kembali segar.

 

Adapun perawatannya, Ahmad tidak membuat ribet. Ia hanya memberinya pupuk putih pada usia dua bulan dengan jarak minimal 5 sentimeter, memotong pucuk pohon tembakau saat berusia 70 hari agar pohon tembakau tidak terlalu tinggi dan daun tembakau jadi lebar, dan terakhir menunggu tembakau berusia 5 bulan karena saat itulah tembakau sudah siap panen. Namun, ia berjanji tidak akan memanen tembakaunya sendiri tetapi langsung menjualnya begitu tembakau sudah cukup umur.

 

Begitulah yang dilakukan Ahmad dalam menaman dan merawat tembakau. Semua itu ia pelajari dari ayahnya saat bertani tembakau sebelum ia meninggal. Kebetulan ayahnya memang menjadi ketua kelompok tani di kampungnya. Jadi, tak heran ayahnya banyak tahu tentang cara-cara membudidayakan tanaman, termasuk tanaman tembakau.

 

Ahmad tidak tahu harga tembakau di pasaran. Namun, ia yakin harga tembakau tahun ini akan melonjak mengingat sedikitnya orang yang bertani tembakau.

Di kampungnya saja orang yang bertani tembakau bisa dihitung dengan jari. Itu pun tani tembakaunya tidak banyak. Paling sekisaran seribu pohon. Hal itu terjadi karena mulanya musim kemarau memang tak karuan. Mungkin mereka takut rugi seperti pada tahun sebelumnya.

 

Minggu-minggu berlalu dan tembakau Ahmad makin menua. Sebagian daun-daunnya sudah menguning. Dari desas-desus yang beredar, para pembeli tembakau sudah mulai turun ke pelosok-pelosok kampung, menawar tembakau dengan harga terbaik.

Mengetahui kenyataan itu, beberapa tetangga yang tidak menanam tembakau tampak menyesal. “Kalau tahu harga tembakau begini, tentu aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan.”

 

“Ini gara-gara musim tak karuan.”

 

“Sudahlah, mungkin ini memang nasib kita.”

 

“Begini jadinya kalau suka meremehkan orang lain. Ini pelajaran.”

 

Namun, Ahmad tak mau ambil pusing. Ia tak peduli dengan kabar pembeli tembakau yang turun kampung, juga orang-orang sekitar yang tampak galau. Semua ia pasrahkan pada Tuhan. Ia yakin Tuhan pasti akan memberinya yang terbaik.

Sepulang dari masjid, Ahmad sudah ditunggu tiga orang lelaki di halaman rumahnya. Ia tidak tahu siapa mereka kecuali seorang lelaki tua yang menemani mereka ngobrol. Lelaki tua yang tak lain adalah Kakek Markun, tetangganya.

 

“Nak, dua orang ini katanya mau melihat tembakau-tembakau milikmu,” kata Kakek Markun begitu Ahmad menyalami mereka satu per satu.

 

Dua lelaki paruh baya itu hanya mengangguk tersenyum, membenarkan apa yang dikatakan Kakek Markun. Ahmad kemudian meninggalkan mereka setelah mempersilakan duduk di emperan rumahnya. Ia pergi ke rumah Kiai Rasyid yang terletak di seberang jalan.

Kiai Rasyid adalah guru ngajinya sekaligus orang yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri. Setelah ayahnya meninggal, memang Kiai Rasyidlah tempat Ahmad berkonsultasi tentang segala hal.

 

Tak lama kemudian, Ahmad kembali bersama Kiai Rasyid yang menemui mereka, berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya membawa mereka ke tembakau-tembakau yang ingin mereka lihat. Setelah menyusuri rupa-rupa jalan, akhirnya mereka sampai di tegal.

Wajah lelah mereka kembali berbinar begitu menyaksikan tembakau-tembakau yang tersebar tampak ranum. Mereka kemudian berbisik satu sama lain, berembuk soal harga.

 

“Sepuluh juta untuk semua tembakau ini!” kata salah satu dari mereka.

 

Ahmad dan Kiai Rasyid terdiam dan hanya saling pandang. Namun, Kiai Rasyid tampaknya tak setuju. Ia malah menaikkan harga. Beberapa saat terjadi tawar-menawar. Akhirnya semua tembakau itu dilepas dengan harga dua kali lipat dari harga semula.

 

Tubuh Ahmad bergetar. Ia tampaknya masih belum percaya jika saat itu juga ia bisa menerima uang sebanyak itu secara tunai.

 

“Kiai, separuh uang ini mau saya sumbangkan untuk pembangunan masjid,” kata Ahmad tiba-tiba, dengan suara bergetar.

 

Kiai Rasyid tertegun. Ia tak menyangka Ahmad akan berbuat begitu. “Sebaiknya simpan saja, Nak. Saya tahu, Nak Ahmad banyak kebutuhan.”

 

“Tidak, Kiai. Saya tidak ingin bahagia sendiri. Saya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang tuaku yang sudah tiada.”

 

Kiai Rasyid terdiam. Matanya menggerimis, menatap Ahmad dalam-dalam. “Kamu memang anak berbakti, Nak. Orang tuamu pasti bangga di alam sana.”

 

-- Kota Ukir, 2019

TENTANG PENULIS: ALIM MUSTHAFA. Penulis lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Alumnus PBA di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk. Sehari-hari ia mengajar, menulis fiksi, juga menerjemah buku-buku berbahasa Arab. Karya-karyanya telah tersiar di sejumlah media cetak juga online.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement