Selasa 13 Aug 2019 14:02 WIB

Dari Sini Istilah 'Sejak Zaman Kuda Gigit Besi' Berawal

Kalimat

Trem kuda di Batavia
Foto: IST
Trem kuda di Batavia

REPUBLIKA.CO.ID, Pernah mendengar istilah "Zaman Kuda Gigit Besi"? Kalimat terkenal itu bermula saat Jakarta masih bernama Batavia dan memiliki transportasi massal pertama, trem kuda. Begini ceritanya.

Mass Rapid Transit/Moda Raya Terpadu (MRT) sudah melata di perut bumi DKI Jakarta. Transportasi massal itu dibangun sebagai upaya Pemerintah Provinsi Jakarta mengatasi masalah kemacetan di Ibu Kota. Namun, tahukah Anda jika transportasi massal sudah menjadi cara pemerintah untuk mengatasi kemacetan sejak era Pemerintahan Hindia Belanda.

Sejak 152 tahun silam atau tepatnya pada 1867 Belanda sudah membangun transportasi massal di Batavia. Pertama kali transportasi massal yang dibangun adalah trem kuda yang memiliki rute dari Kota Tua di Pasar Ikan menuju Harmoni. Rute itu lalu dilanjutkan ke Tanah Abang dan Harmoni ke Kramat.

photo
Trem Uap di Wilhelmina Park

Sayangnya, transportasi massal ini menemui banyak kendala. Selain jalan-jalan yang dilalui trem kuda kotor karena banyaknya kotoran dan air seni kuda yang berceceran di jalan, banyak juga kuda yang dilaporkan pingsan atau mati ketika bekerja.

Selama 1872, dilaporkan 545 ekor kuda mati akibat kelelahan. Terbanyak ketika trem dari Harmoni ke Tanah Abang Bukit karena rute yang dilaluinya berbukit. Karena letaknya agak tinggi kuda-kuda harus bersusah payah mendakinya.

Nah, agar kuda dapat dikendalikan dengan baik, ke dalam mulutnya dimasukkan besi melintang. Masing-masing ujung besinya ditambatkan ke tali kendali. Karena itu masa itu dikenal sebagai “zaman kuda gigit besi”.

photo
Rute Trem Listrik

Pada 1882 trem kuda digantikan trem uap di bawah pengelolaan Netherlands Indies Tramway Company. Namun, trem uap tidak bertahan lama dan digantikan trem listrik yang mulai beroperasi Juli 1900 dan berakhir 1960.

Kala itu, jaringan trem listrik di Jakarta hampir melewati jalan-jalan raya. Jaringan ini disebut “lin”, dari kata bahasa Belanda lijn. Lin satu dari Jatinegara ke Pasar Ikan (Jakarta Kota) lewat Matraman, Senen, Gunung Sahari, Sawah Be sar, Molenvliet, Glodok, dan Pasar Ikan. Lin (jalur) dua, Tanah Abang, Menteng, Kali Pasir, Kramat, dan Senen. Lin tiga Tanah Abang-Har moni-Kota. Masih ada lagi lin em pat dan lin lima yang melewati Willemlaan (kini Jalan Perwira)-Pasar Baru-Sawah Besar.

Hampir seluruh jalan raya di Jakarta saat itu terlewati trem listrik yang harga tiket satu rit di kelas satu masing-masing 20 dan 35 sen, dan untuk kelas II 20 sen. Tapi agar lebih hemat, ada juga tiket abonemen bulanan untuk semua lin (jalur).

Tetapi pada 1960 trem disuntik mati. Sukarno sebagai seorang insinyur di bidang arsitek berpendapat, trem tidak cocok untuk kota besar modern seperti Jakarta. Jakarta lebih cocok membangun kereta bawah tanah (subway). Sementara sebagai seorang presiden, Sukarno berpendapat trem adalah warisan kolonial.

Namun tidak sedikit warga yang menyayangkan dihapuskannya trem yang saat itu menjadi angkutan utama. Setelah dinyatakan dihapus, pemerintah lantas mengubur rel trem yang panjangnya ratusan kilometer di jalan-jalan Jakarta. Alasan dikuburnya trem lantaran untuk membongkar rel itu membutuhkan biaya besar, sehingga opsi mengubur rel dengan aspal menjadi pilihan utama. Selain di Jakarta, trem listrik juga terdapat di Surabaya dan mengalami nasib sama pada 1961.

Trem listrik yang dikelola oleh BVM pada 1957 dinasionalisasi se bagai konsekuensi pengambilalihan perusahaan milik Belanda menyu sul memburuknya hubungan RI-Belanda sampai ke pemutusan hubung an karena sengketa Irian Barat (kini Papua). Perusahaan Belanda yang mengelola trem ini kemudian diambil alih oleh PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ketika dikelola PPD, trem rugi terus yang tidak pernah terjadi pada masa Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement