Kamis 08 Aug 2019 14:46 WIB

Indonesia Butuh SDM dengan Keahlian Hibrida

SDM Indonesia tidak cukup dengan keahlian linear.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Dwi Murdaningsih
Menteri Sektetaris Negara (Mensesneg) RI, Profesor Pratikno menjadi  pembicara dalam konvensi nasional ilmu-ilmu sosial di Universitas  Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (8/8)
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Menteri Sektetaris Negara (Mensesneg) RI, Profesor Pratikno menjadi pembicara dalam konvensi nasional ilmu-ilmu sosial di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (8/8)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Pratikno mengatakan, saat ini Indonesia memerlukan sumber daya manusia (SM) dengan keahlian hibrida. Saat ini, Indonesia tengah berupaya dalam mengembangkan kualitas SDM), tapi ternyata tidak cukup dengan keahlian linear.

"Seperti ilmuwan sosial tapi paham juga tentang algoritme," kata Pratikno saat menjadi pembicara di Konvensi Nasional Ilmu-ilmu Sosial yang diadakan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) di Hall Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (8/8).

Baca Juga

Lalu ada juga seorang ilmuwan sosial memiliki kemampuan tinggi di bidang wirausaha sehingga disebut socio-enterpreneur. Menurut Pratikno, kualitas SDM seperti ini justru lebih berharga dan maju dibandingkan technopreneur. Sebab, socio-enterpreneur sudah pasti memahami dan menguasai banyak ilmu pengetahuan.

Untuk memiliki keahlian hibrid, maka suatu individu perlu mengasah keterampilan sosialnya. Namun sayangnya, aspek ini tidak masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Sebab, selama ini lebih fokus pada penguasaan konten semata.

Dia mencontohkan, pembelajaran sosiologi kemungkinan besar hanya lima persen dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Keilmuan ini tidak akan mencukupi pada mereka yang memiliki ruang gerak sosial yang lebih luas. Oleh sebab itu, penguasaan konten tidak cukup untuk menciptakan individu dengan keahlian hibrid.

"Saya punya kegelisahan puluhan tahun bahwa kurikulum kita itu kaku. Mahasiswa hanya bisa belajar dari dosen, itu kesalahan besar institusi pendidikan. Mahasiswa bisa belajar di mana saja," kata dia.

Mahasiswa yang memimpin BEM misalnya bisa memeroleh poin perkuliahan. Mereka dapat menerima nilai tertentu yang setara tiga SKS pada materi kepemimpinan. Atau, dapat juga diterapkan pada perkuliahan wirausaha terhadap mahasiswa yang sukses berjualan.

"Ini dosa jariyah para rektor. Mahasiswa itu bisa lebih berkembang jika diberi kesempatan belajar dari manapun," kata mantan rektor Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Selain itu, SDM juga memerlukan keterampilan secara teknikal terutama pada bahasa. Bahasa di sini bukan sekedar menguasai lokal, nasional maupun internasional. SDM juga harus bisa memiliki kemampuan dalam bahasa digital.

"Bahasa digital, coding dan programing harus diberlakukan sebagai media komunikasi," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement