Senin 05 Aug 2019 08:54 WIB

Sanggukah Rektor Asing Perbaiki Kampus Lokal?

Nasir ingin rektor di dalam negeri miliki target perbaikan peringkat kampus.

Menristekdikti Muhamad Nasir
Menristekdikti Muhamad Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendatangkan rektor dari luar negeri untuk memimpin sebuah universitas dinilai tak lantas membuat peringkat perguruan tinggi di tingkat internasional menjadi lebih baik. Tak ada jaminan bahwa kualitas ataupun peringkat sebuah kampus bisa melejit di tingkat internasional dengan kedatangan rektor asing.

Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Budi Wiweko mengatakan, rektor harus memiliki kemampuan kepemimpinan ilmiah yang mumpuni. Hal itu bisa menciptakan ekosistem yang mendukung perubahan di kampus yang dipimpinnya.

“Seorang pimpinan perguruan tinggi, apakah itu rektor asing atau WNI (warga negara Indonesia), harus memiliki scientific leadership yang kuat sehingga mampu menciptakan ekosistem yang mendukung perubahan terhadap tiga komponen penting dalam perubahan,” ujar Budi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, tiga komponen yang dimaksud adalah reputasi dosen, jumlah mahasiswa asing dan kemampuan kampus dalam mengubah wajah perguruan tinggi dalam melakukan inovasi disruptif dalam membangun sistem. Kepemimpinan yang kuat dengan rekam jejak yang baik akan mempercepat proses transformasi.

Budi mengatakan, mendatangkan rektor asing, harus menjamin adanya proses alih ilmu pengetahuan, maupun alih teknologi dan sistem manajemen perguruan tinggi. Jika tidak, kedatangan rektor asing dinilai tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perubahan yang diinginkan di perguruan tinggi.

“Fenomena menarik bila kita melihat ke tetangga kita, negeri Singapura, dua perguruan tinggi mereka, National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technology University (NTU) sama-sama menduduki peringkat ke-11 dunia menurut QS ranking tahun 2020. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini yang sejak lama sudah sangat agresif dan progresif dalam hal riset serta pendidikan,” ujar dia.

Singapura yang hanya berpenduduk 5,6 juta jiwa, kata dia, sadar pentingnya akselerasi dalam alih ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka tidak segan merekrut tenaga peneliti asing bereputasi dunia untuk memimpin laboratorium riset dan inovasi di perguruan tinggi mereka.

“Itu membutuhkan skema pendanaan besar yang didukung penuh oleh pemerintah. Kita bisa melihat bagaimana rekam jejak peneliti bereputasi dunia yang membangun dunia riset dan pendidikan tinggi di Singapura, umumnya mereka pemimpin lembaga riset di negara Eropa, sebagian masih aktif, sebagian lagi sudah hampir memasuki masa pensiun,” kata dia.

Penentuan peringkat perguruan tinggi dunia dilakukan berdasarkan skor reputasi para dosen, skor reputasi para karyawan, rasio dosen terhadap mahasiswa, indeks sitasi dosen (menerangkan berapa banyak jurnal internasional per dosen yang disitasi oleh jurnal internasional lain), jumlah dosen asing serta jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi tersebut.

Menurut dia, satu hal terpenting yang tidak boleh dilupakan dalam mengubah wajah perguruan tinggi di Indonesia adalah melakukan inovasi disruptif dalam membangun sistem. Studi mengenai world class university (WCU) dengan tegas menggarisbawahi tiga komponen terpenting bagi sebuah perguruan tinggi untuk mencapai kelas dunia.

Tiga komponen itu adalah talent concentration (tempat berkumpulnya sumber daya manusia terbaik), favorable governance (regulasi yang memfasilitasi), dan abundant resources (finansial dan infrastruktur yang mendukung).

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhamad Nasir mengaku, ide mendatangkan rektor asing berangkat dari lambatnya perbaikan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Nasir ingin mengimpor rektor dari luar negeri agar sistem pendidikan di sebuah kampus bertransformasi secara signifikan dan berimbas pada perbaikan peringkat perguruan tinggi skala global.

Bahkan, ia mengaku rencana memasukkan rektor asing ini sudah ada sejak 2016 lalu. Namun, kata dia, adanya penolakan dari nyaris seluruh perguruan tinggi terkait ide ini membuatnya mengurungkan realisasi kebijakan ini.

“Para rektor mem-bully saya semua, dan rasanya ada ketakutan apa yang saya sampaikan. Wah, cooling down dulu, saya menata ulang, yaitu publikasi dulu,” kata Nasir di Istana Bogor, Ahad (4/8).

Pada prinsipnya, ujar Nasir, dirinya ingin menantang para rektor di Tanah Air untuk melakukan inovasi pendidikan. Perguruan tinggi juga diminta gencar melakukan kolaborasi dengan kampus global, termasuk dalam hal penerbitan publikasi ilmiah. Nasir ingin para rektor di dalam negeri juga memiliki target terkait perbaikan peringkat kampus.

“Nanti (rektor) luar negeri dan dalam negeri akan saya berikan nilai yang sama. Apa strategi yang kamu lakukan? Dalam negeri juga sama, apa yang harus dilakukan Mereka itu kan tidak berani melihat suatu perubahan. Tapi, saya heran, kok semua mem-bully saya,” kata Nasir.

Nasir sendiri menyayangkan anggapan masyarakat yang masih menganggap tabu segala sesuatu yang berbau asing, khususnya di bidang pendidikan. Apalagi, ujarnya, keberadaan guru besar asing di kampus-kampus dalam negeri masih jarang.

“Kalau ingin memasuki persaingan dunia, masuk di dalam 200 besar, mau tidak mau harus berkolaborasi,” kata Nasir. Mantan rektor Universitas Diponegoro ini mengklaim langkahnya sudah direstui Presiden Joko Widodo. n sapto andika candra/antara ed: mas alamil huda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement