Ahad 04 Aug 2019 22:42 WIB

Menteri Nasir: Saya Heran, Kok Semua Mem-bully?

Nasir mengaku ada penolakan dari nyaris seluruh perguruan tinggi terkait rektor asing

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Yudha Manggala P Putra
Menristek Dikti Mohamad Nasir saat berbincang dengan wartawan di Jakarta,  Selasa (30/7).
Foto: Republika/Karta Raharja Ucu
Menristek Dikti Mohamad Nasir saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Selasa (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir blakblakan soal idenya membuka ruang bagi profesional asing untuk menjadi rektor di perguruan tinggi dalam negeri. Menurutnya, ide ini berangkat dari lambatnya perbaikan kualitas perguruan tinggi di Indonesia.

Nasir ingin 'mengimpor' rektor dari luar negeri agar sistem pendidikan di sebuah kampus bertransformasi secara signifikan dan berimbas pada perbaikan peringkat perguruan tinggi skala global.

Bahkan ia mengaku rencana memasukkan rektor asing ini sudah ada sejak 2016 lalu. Hanya saja, ujarnya, adanya penolakan dari nyaris seluruh perguruan tinggi terkait ide ini membuatnya mengurungkan realisasi kebijakan ini.

"Tapi karena resisten. Para rektor membully saya semua, dan rasanya ada ketakutan apa yang saya sampaikan. Wah, cooling down dulu, saya menata ulang, yaitu publikasi dulu," kata Nasir di Istana Bogor, Ahad (4/8).

Pada prinsipnya, ujar Nasir, dirinya ingin menantang para rektor di Tanah Air untuk melakukan inovasi pendidikan. Perguruan tinggi juga diminta gencar melakukan kolaborasi dengan kampus global, termasuk dalam hal penerbitan publikasi ilmiah. Nasir ingin para rektor di dalam negeri juga memiliki target terkait perbaikan peringkat perguruan tinggi.

"Nanti (rektor) luar negeri dan dalam negeri akan saya berikan nilai yang sama. Apa strategi yang kamu lakukan? Dalam negeri juga sama, apa yang harus dilakukan Mereka itu kan tidak berani melihat suatu perubahan. Tapi saya heran. Kok semua membully saya semua ya," kata Nasir.

Nasir sendiri menyayangkan anggapan masyarakat yang masih menganggap tabu segala sesuatu yang berbau asing, khususnya di bidang pendidikan. Apalagi, ujarnya, keberadaan guru besar asing di kampus-kampus dalam negeri masih jarang.

"Kalau ingin memasuki persaingan dunia, masuk di dalam 200 besar, mau tidak mau harus berkolaborasi," kata Nasir.

Nasir memberi contoh Singapura yang dianggap sukses membangun kampus-kampusnya. Nanyang Technological University (NTU) di Singapura misalnya, saat ini berhasil bertengger di jajaran universitas top dunia meski usianya terbilang masih muda.

"NTU kan berdiri tahun 1980-an. Tapi mengapa dia itu sekarang sudah masuk 12 besar dunia, ternyata apa? Dia kolaborasi salah satunya adalah rektor dari AS pernah jadi rektor di NTU tahun 1995. Dosen-dosennya dari Amerika, dari Eropa," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement