Senin 29 Jul 2019 22:20 WIB

Kampus Berperan Tangkal Potensi Radikalisme

Kampus dapat menjadi tempat mengkaji segala apapun yang terkait kehidupan bernegara.

Rep: Hiru Muhammad/ Red: Didi Purwadi
UMJ
Foto: UMJ
UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Pemerintah diminta agar lebih bersungguh-sungguh dalam memperteguh rasa ke-Indonesiaan lewat perguruan tinggi. Termasuk di dalamnya konsistensi sikap dalam menerapkan nilai luhur dari Pancasila dalam realitas kehidupan.

Pandangan itu disampaikan Dr Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Muhammadiyah, dalam membahas hasil penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan tema 'Memperkuat Otoritas Perguruan Tinggi dalam Membangun Ketahanan Lingkungan Kampus terhadap Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan'.

Temuan sejumlah penelitian yang dilakukan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta 2019), Setara Institut (2019), Universitas NU Indonesia (UNUSIA, 2019) dan Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM, 2017), menunjukkan adanya potensi intoleransi, eksklusivisme, dan ekstrimisme kekerasan di perguruan tinggi. Ancaman terhadap nilai-nilai kebangsaan ini berdampak negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Hal ini ada kaitannya dengan tren yang telah belangsung lama, yang dimulai tahun  1980an saat sikap kritis kampus disumbat. "Dalam perkembangannya, gerakan keagamanaan tidak diarahkan negara yang belakangan muncul kelompok rohani Islam (Rohis) dan LDK yang tumbuh subur," kata Abdul Mu'ti di Jakarta, Senin (29/7). 

Kampus dapat menjadi tempat mengkaji segala apapun yang terkait kehidupan bernegara karena terkait dengan kebebasan akademik. Namun, hal itu harus berdasarkan bimbingan akademik dari perguruan tinggi.

Pendidikan Pancasila dari dasar belum cukup, saat di perguruan tinggi ada nilai baru yang diterima seseorang, tidak bisa dijelaskan perguruan tinggi. "Sikap kritis akademis harus sesuai dengan semangat kebangsaan," kata Mu'ti.

Kegiatan dakwah kampus akhirnya berkembang dan berkorelasi dengan lahirnya partai politik. Namun sayangnya isi dari kajian dawah tersebut tidak mendapat perhatian dari kampus, termasuk materi pengajian yang terkait dengan kepentingan bernegara. "Karena itu perlu kerjasama berbagai pihak, perbaikan komunikasi dengan elemen masyarakat, ormas agama agar potensi sikap ekstimis dan sparatis di masyarakat dapat segera diatasi," katanya. 

Dekan FISIP UMJ, Dr Ma'mun Murod, menilai mereka yang datang ke kampus memiliki beragam pandangan dan nilai yang berbeda dalam banyak hal. Karena itu, kampus berperan strategis dalam mengatasi segala potensi yang dapat mengganggu kehidupan berpancasila.

Penerimaan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara cukup tinggi, demikian juga penerapan syariah Islam. Namun, ketika bicara syariat Islam menjadi suatu yang mengerikan. "Padahal syariat Islam itu sudah dilakukan umat Islam setiap hari, seperti makan dengan tangan kanan, pakai celana dimulai kaki kanan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement