Selasa 23 Jul 2019 16:16 WIB

Berantas Tuntas Kejahatan Seksual Anak

Pemberian grasi ke Neil Bantleman mencederai semangat hapus kejahatan seksual anak

  Aksi kampanye menentang kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (29/1).   (Republika/ Tahta Aidilla)
Aksi kampanye menentang kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (29/1). (Republika/ Tahta Aidilla)

Terpidana kasus pelecehan seksual yang juga mantan guru Jakarta Internasional School (JIS) Neil Bantleman dikabarkan telah bebas. Neil dibebaskan karena mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo. Grasi mengurangi pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta.

Masyarakat bertanya-tanya apa alasan pemberian grasi ini? Bukankah seharusnya pelaku kejahatan seksual kepada anak itu diberikan hukuman yang sekeras-kerasnya? Agar menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual lainnya?

Baca Juga

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, Neil Bantleman seharusnya tidak bisa diberi grasi, karena Neil tetap tidak mengakui perbuatannya setelah mendapatkan grasi itu. Padahal, Arist menyebut grasi hanya bisa diberikan jika Neil Bantleman mengakui kesalahannya.

Kebijakan ini mencederai semangat untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia dari kejahatan seksual. Bahkan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah sendiri yang sudah mengeluarkan  Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak.

Kasus pedofili yang dilakukan Neil hanya satu dari banyak kasus yang terus berulang. Kejahatan seksual terhadap anak semakin mengancam anak-anak kita. Terlebih faktor-faktor penyebabnya tidak dicegah. Seperti konten pornografi yang sangat mudah diakses menyebebkan fantasi seksual pada orang yang menontonnya.

Lalu melampiaskan kepada anak-anak yang lebih mudah dirayu ataupun diancam.Tahun 2017 pernah terkuak praktik pelecehan seksualitas via media sosial. Banyak akun-akun yang anggotanya berjumlah lebih dari 7.000 pengguna diketahui kerap mengunggah konten-konten pedofilia. Bahkan diduga jejaring pedofil bisa merambah hingga ke luar negeri.

Selain itu, banyak terumbarnya aurat termasuk pada anak-anak mengundang pelaku kejahatan pedofil melakukan aksinya. Juga peredaran minuman keras yang sangat mudah ditemukan dipasaran. Para pelaku banyak ditemukan dalam kondisi mabuk saat melakukan aksi bejatnya. Ditambah lagi, sanksi yang diberikan terhadap pelaku kejahatan seksual maksimal 12 tahun tidak memberikan efek jera. 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan Fatwa bernomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan menjelaskan, tindak kejahatan seksual yang mengorbankan anak-anak sudah meresahkan masyarakat.  MUI lantas memutuskan, aktivitas pencabulan, yakni pelampiasan nasfu seksual seperti meraba, meremas, dan aktivitas lainnya tanpa ikatan pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada dewasa maupun anak hukumnya haram.

Memang dibutuhkan solusi yang paripurna jika ingin memberantas kejahatan seksual terhadap anak dari akar-akarnya. Mulai dari preventif hingga kuratif. Dalam Islam, semua faktor penyebab harus dihilangkan. Konten pornografi, minuman keras harus dilarang, karena memang haram.

Keimanan dan ketaqwaan setiap individu pun harus dikuatkan. Batasan aurat, batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dipahamkan. Kontrol masyarakat pun harus dibangun untuk mencegah. Seperti budaya amar ma'ruf nahi Munkar dalam Islam diwajibkan. Secara kuratif, Islam pun memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku. Yakni ancaman hukuman cambuk, rajam sampai mati, hingga hukuman berlapis jika kejahatannya beragam.

Pengirim: Idea Suciati, Jatinangor, Sumedang.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement