Selasa 23 Jul 2019 15:01 WIB

Masa Awal Bahasa Indonesia; Tanda Pengenal Keindonesiaan

Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu

Sumpah Pemuda pertama
Foto: Tangkapan layar
Sumpah Pemuda pertama

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

 

Sebulan setelah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, di Batavia, anggota Volksraad dari Fraksi Nasional menunjukkan tekadnya menggunakan bahasa Indonesia di sidang Volksraad. Pada 11 Juli 1938 --81 tahun lalu-- tekad itu diwujudkan, sebagai bentuk penghormatan kepada kongres bahasa.

 

Warga banyak yang melihat sidang itu karena sebelumnya diumumkan akan adanya penggunaan bahasa Indonesia di sidang Volksraad. Leeuwarder Courant edisi 29 Juli 1938 menyebut dari 17 anggota Volksraad Fraksi Nasional, ada sembilan anggota yang menggunakan bahasa Indonesia di sidang Volksraad 11 Juli itu.

 

Kantor Berita Aneta seperti dikutip majalah berbahasa Belanda, De Gooien Eemlander, edisi 11 Juli 1938, melaporkan ketua Volksraad mengatakan sudah beberapa kali dalam tahun-tahun sebelumnya permintaan penggunaan bahasa Indonesia itu diajukan oleh anggota yang tak mahir berbahasa Belanda. Namun hampir selalu bisa dicegah.

 

De Gooien Eemlander menilai Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo memiliki peran penting yang mendorong Fraksi Nasional memiliki kekuatan menggunakan bahasa Indonesia di Volksraad setelah di tahun-tahun sebelumnya selalu gagal. Majalah ini mencatat hanya Datuk Jahja dari Sumatra Barat yang rutin mengunakan bahasa Melayu, karena bahasa ini dibolehkan sejak berdirinya Volksraad.

 

Kongres Bahasa Indonesia Pertama itu diadakan di Solo bukan untuk menghibur masyarakat Jawa lantaran bukan bahasa Jawa yang dipilih sebagai bahasa persatuan. Solo memang menjadi salah satu tempat favorit untuk gelaran acara-acara.

 

Pada Mei 1935, Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Indonesia (PPPKI) juga menggelar kongres di Solo. Di kesempatan ini dimatangkan rencana penggabungan organisasi pergerakan yang sudah dibahas sejak 1931. Pada Desember 1935, konferensi penggabungan organisasi-organisasi itu dalam organisasi baru bernama Partai Indonesia Raya (Parindra) juga diadakan di Solo.

 

Jika pemilihan tempat Kongres Bahasa dikaitkan dengan upaya menghibur masyarakat yang bahasanya tak dipilih sebagai bahasa persatuan, selayaknya kongres itu diadakan di Riau. Bahasa Melayu diusulkan M Yamin sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

 

Saat Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu, Yamin mengutarakan pandangannya tentang bahasa Melayu. "Kepandaian bahasa Melayu itu memberi kesempatan kepada siapa sekalipun untuk bergaul dengan bangsa Jawa, Sunda, Melayu, dan Arab, yang setiap hari menjadi teman berbicara," ujar Yamin seperti ditulis Sutan Takdir Alisyahbana di majalah Pujangga Baru edisi Agustus 1933.

photo
Sutan Takdir Alisyahbana.

 

Menurut Yamin, di dunia perdagangan dan politik, bahasa Melayu mendapat kedudukan pertama. "Bagi saya sendiri, saya mempunyai keyakinan, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesiadi masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu," ujar Yamin.

 

Perkembangan bidang budaya ini menopang gagasan identitas nasional yang tidak lagi dikaitkan dengan unsur keagamaan dan kedaerahan. Maka, ketika M Yamin menyusun resolusi pemuda di Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang menyebut "menunjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu", M Tabrani yang menjadi ketua kongres menolaknya.

 

Tabrani memilih bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia, meski bahasa itu belum ada. "Untuk menyebut bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia itu sebuah keberanian yang luar biasa saat itu," ujar TD Asmadi, pegiat bahasa yang juga pendiri Forum Bahasa Media Massa (FBMM), di rapat pembahasan penggagas bahasa persatuan di Badan Bahasa, 30 April 2019.

 

Pemilihan Indonesia untuk nama bahasa persatuan bangsa Indonesia dipuji A Ed Schmidgall-Tellings, yang kamus Inggris-Indonesianya diterbitkan Mizan pada 2014. Di koran De Nieuwsgier edisi 29 Oktober 1952, ia menulis artikel "Tiga Windu Bahasa Indonesia". Menurut dia, nama ‘Indonesia’ sangat harmonis dengan dengan bahasa Melayu. ‘Indonesia’ juga cocok dengan konteks terminologi di tingkat internasional: Polinesia, Melanisea, Mirkonesia, dan Australia.

 

Schmidgall-Tellings menyebutkan, nama ‘Indonesia’ memiliki faktor penting yang membuat "tidak adanya ketegangan yang muncul di antara sekitar 200 bahasa daerah dan dialek Indonesia lainnya". Tak ada bahasa daerah yang iri terhadap pemilihan bahasa Indonesia, kendati bahasa Indonesia bermula dari bahasa Melayu. "Dia dipilih secara tidak memihak," tulis dia.

 

Saat itu, bahasa Melayu memang menjadi bahasa pergaulan. Schmidgall-Tellings memuji tokoh-tokoh Budi Utomo yang memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar mereka di awal pendirian organiasi itu. Tokoh-tokoh Budi Utomo adalah priyayi-priyayi Jawa, yang tidak aneh jika akan memilih bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di rapat-rapat organisasi.

 

"Namun mereka memutuskan dengan wawasan yang mendalam untuk memilih bahasa Melayu memainkan peran ini, karena pengetahuan tentang bahasa Melayu sudah menyebar ke seluruh kepulauan, tidak demikian halnya dengan bahasa Jawa,’’ tulis Schmidgall-Tellings.

 

Ia melihat, jika yang dipilih adalah bahasa Jawa, akan muncul kritik dari kritikus gerakan nasionalis bahwa ada bukti semangat imperialis dari kelompok populasi mayoritas. "Keputusan Budi Utomo ini sangat penting, karena membantu memfasilitasi pembentukan kesadaran nasional dengan menyelamatkan sebanyak mungkin sensivitas kedaerahan," tulis dia.

 

Di awal 1900-an itu, pers dan sastra Melayu juga mulai berkembang di Hindia Belanda. "Sastra Melayu masuk koran mulai 1900 ada di Jawa Tirto dan Marco wartawan yang juga menulis roman, di Manado ada Pangemanan, wartawan-wartawan yang juga menulis roman," tulis Ajip Rosidi di buku Ichtiar Sedjarah Sastra Indonesia (Binatjipta, 1969).

 

Pada 1933, Sutan Takdir, Armyn Pane, Amir Hamzah, membuat majalah Pujangga Baru. Pada 1936, majalah ini memiliki moto "pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia".  

 

Menurut MC Ricklefs di buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, 2005), pada 1918 baru ada 40 surat kabar berbahasa Melayu dan pada 1925 telah berkembang menjadi sekitar 200 surat kabar. Kemudian menjadi lebih dari 400 surat kabar berbahasa Melayu pada 1928, baik harian, mingguan, maupun bulanan.

 

Balai Pustaka juga menerjemahkan banyak literatur Barat ke bahasa Melayu. Pada 1920 Balai Pustaka menjual 100 ribu buku dan meminjamkan satu juta buku.

 

Tak heran jika Yamin juga mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Pada 1916, Suwardi Suryaningrat telah mencetuskan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, karena bahasa ini sudah dipakai oleh organsiasi-organisasi pergerakan, seperti Budi Utomo sejak 1908. Achmad Djajadiningrat kemudian mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa resmi di Volksraad pada 1918.

 

Alasannya karena tak semua anggota Volskraad pribumi bisa berbahasa Belanda. Menteri Urusan Kolonial Pleijte menilai permintaan ini berlebihan. "Pada saat ini intelektual Hindia mampu menulis dan berbahasa Belanda dengan baik dan berpikir dalam bahasa Belanda,’’ ujar Pleijte seperti dikutip Kees Groeneboer di buku Weg tot het Westen, Het Nederlands voor Indie 1600-1950 (KITLV Uitgeverij, 1993).

 

Pleijte benar adanya. Sjahrir dan Soekarno sebagai contoh yang disebut Groeneboer. Buku harian Sjahrir selama dibuang di Digul dan Banda Neira pada 1934-1938 ditulis dalam bahasa Belanda. Soekarno bahkan berpikir dalam bahasa Belanda, seperti diakuinya di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat (Gunung Agung, 1986). "Aku berpikir dalam bahasa Belanda. Bahkan sekarang pun aku memaki-maki dalam bahasa Belanda. Kalau aku mendoa ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, maka ini kulakukan dalam bahasa Belanda."

 

Protes terhadap usulan Achmad Djajadiningrat pun bermunculan, menganggap bahasa Melayu tak cocok untuk berdebat, karena hanya dipahami oleh sebagian kecil anggota Volksraad. Penggunaan bahasa Melayu juga dituding dimanfaatkan untuk propaganda nasionalis.

 

Toh, Volksraad akhirnya memiliki 29 suara yang menyetujui penggunaan bahasa Melayu, melawan sembilan suara yang menolak. "Bahasa ini digunakan dengan pertimbangan, dengan pengertian bahwa anggota bebas menggunakan bahasa Melayu jika mereka mau," tulis Groeneboer.

 

Setelah Kongres Pemuda Indonesia Kedua mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, hiruk-pikuk gerakan bahasa nyaris senyap. Pada 1929, Tabrani masih sempat meneriakkan perlunya menerbitkan koran dwibahasa: Indonesia dan Belanda.

 

"Bahwa dengan bantuan bahasa ini kita harus menjangkau bagian bangsa kita yang sampai sekarang terpaksa berlangganan surat kabar Belanda,’’ tulis Tabrani di bukunya, Ons Wapen; De Nationale Indonesische Pers en Hare Organisatie, seperti dikutip Groeneboer.

 

Majalah Timbul yang terbit pada 1930 dalam bahasa Belanda, menurut Ajip Rosidi di buku Ichtiar Sedjarah Sastra Indonesia (Binatjipta, 1969), pada 1932 juga menerbitkan edisi bahasa Indonesia. Armyn Pane menjadi redaktur di majalah ini.

 

Menurut catatan sensus 1920-1930, seperti yang dikutip buku Weg tot het Westen, ada 16.621 pribumi yang dapat membaca dan menulis bahasa Belanda. Jumlah ini hanya 0,12 persen dari total populasi pribumi yang mencapai 48 juta. Sebanyak 1.195 menggunakan bahasa Belanda sehari-hari di rumah.

 

Sepuluh tahun kemudian, jumlah pribumi yang menguasai bahasa Belanda meningkat tajam. Sensus 1930 menunjukkan ada 187.708 pribumi yang menguasai bahasa Belanda. Jumlah ini mencapai 0,3 persen dari total populasi pribumi yang mencapai 59 juta. Dibandingkan dengan kondisi tahun 1900 yang hanya sekitar 5.000 pribumi yang menguasai bahasa Belanda, jumlah tahun 1930 ini sangat besar peningkatannya.

 

Dalam kondisi ini, Tabrani melihat penggunaan bahasa Belanda masih diperlukan sebagai senjata perjuangan. Bagi dia, menggunakan bahasa Belanda bukan berarti pro-Belanda, melainkan agar ide-ide perjuangan juga dibaca juga oleh orang-orang Belanda.

"Kita berpikir dan berbicara dalam bahasa Belanda, sementara kita bersemangat menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan," ujar Tabrani seperti dikutip Groeneboer.

 

Tabrani melihat hal ini seperti sebuah paradoks, tetapi ia melihat hal ini sebagai langkah praktis. "Pengetahuan bahasa Indonesia bukan satu-satunya tanda pengenal keindonesiaan kita. Sebaliknya orang sudah memakai bahasa Belanda dan dengan ini tidak dikatakan bahwa seorang itu pro-Belanda. Ada fakta untuk membuktikan ini,’’ tulis Tabrani seperti dikutip Daniel Dhakidae di buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Gramedia, 2003).

 

Ide Tabrani menerbitkan koran dwibahasa ditujukan agar; di satu sisi bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa persatuan yang dipraktikkan sehari-hari, di sisi lain ide-ide kemerdekaan juga dibaca oleh orang-orang Belanda. Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia, bagi Tabrani, dua-duanya bisa menjadi senjata perjuangan.

 

Bahasa Belanda dia anggap sebagai senjata yang baik untuk melawan Belanda. Bahasa Indonesia menjadi senjata baik untuk mempersatukan bangsa dengan ide-ide kemerdekaan. "…bahasa juga digunakan dan disalahgunakan secara besar-besaran untuk tujuan propaganda, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Apabila dianggap menguntungkan untuk meyakinkan musuh supaya menyerah, propaganda disemburkan kepadanya di dalam bahasanya sendiri,’’ tulis Mario Pei, linguis Amerika Serikat di buku yang ia terbitkan pada 1949, Kisah Daripada Bahasa (Bhratara, 1971).

 

Untuk penggunaan bahasa Indonesia, rupanya tak berjalan mulus. Pemerintah Hindia Belanda lantas menghalangi penggunaan bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu agar tidak meluas sejak awal 1930-an. Sekolah-sekolah diminta menggunakan  bahasa daerah.

 

Di Aceh, Teuku Hasan mengumpulkan 1.000 orang pada 6 Maret 1932 di Kotaraja -–sekarang Banda Aceh-- untuk memprotes kebijakan penggunaan bahasa Aceh di sekolah-sekolah. Pemerintah Hindia Belanda sudah menjalankannya di Idi awal tahun dan mulai Juli dimuali di Sigli. Rencana protes di Kotaraja ini diinformasikan ke Fraksi Nasional Volksraad, majalah Bintang Timoer di Batavia, dan majalah Soeara Oemoem di Surabaya.

 

"Secara umum diyakini bahwa penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa utama di sekolah, secara bertahap dapat mengarah pada pemisahan Aceh dari konteks ‘Indonesia’," tulis De Sumatra Post edisi 7 Maret 1932. De Sumatra Post juga menulis kejadian beberapa tahun sebelumnya di Minangkabau. Bahasa Minang ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah, dan juga ditentang dengan argumen ada upaya memisahkan Minangkabau dari konteks "Indonesia".

 

"Bangsa Belanda sangat takut terdesak," kata Sutan Takdir Alisyahbana mengomentari kebijakan itu di Soeara Oemoem, edisi 7 Maret 1932. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement