Selasa 23 Jul 2019 10:35 WIB

Lemahnya Hukum dalam Grasi Neil Bantleman

Kejahatan seksual bisa merusak generasi tak harusnya Neil Bantleman mendapat grasi

  Aksi kampanye menentang kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (29/1).   (Republika/ Tahta Aidilla)
Aksi kampanye menentang kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (29/1). (Republika/ Tahta Aidilla)

Keadilan nampaknya masih sulit terwujud di Indonesia. Belum lama ini tersiar berita pemberian grasi pada pelaku pelecehan seksual terhadap anak. Pelaku bernama Neil Bantleman (warga Kanada), mantan guru Jakarta International School (kini Jakarta Intercultural School/JIS).

Neil harusnya mendapatkan vonis hukuman selama 11 tahun penjara. Namun, kini pelaku bisa bebas karena mendapatkan grasi dari Presiden. 

Baca Juga

Dikutip dari Liputan6.com “Neil Bantleman mendapat grasi dari Presiden pada 19 Juni 2019”, ujar Kabag Humas Direktorat Jenderal Permasyarakatan Ade Kusmanto saat dikonfirmasi, Jumat (12/7). Ade menjelaskan, grasi yang diberikan Jokowi tertuang dalam Keppres Nomor 13/G Tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019. 

Di sisi lain, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menilai, grasi yang diberikan Presiden Joko Widodo pada terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak, Neil Bantleman, bertentangan dengan undang-undang. “Itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa kejahatan seksual itu adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, maka penanganannya juga harus luarbiasa,” kata Arist, Ahad (14/7). 

Selain undang-undang, pemberian grasi pada eks guru JIS itu bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak. “Itu menciderai dan melemahkan gerakan nasional pemutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak,” kata Arist.

Telah nyata di depan kita, betapa hukum sangat lemah dihadapan pelaku kriminalitas. Dengan mudahnya undang-undang (aturan) dibuat sekaligus dilanggar. Banyak undang-undang yang saling tumpang tindih. Dan akhirnya membuat negara tak berdaya di hadapan penjahat. Apa jadinya jika negara lemah di hadapan predator anak?

Kita lihat, pelaku bisa bebas melanglang buana ke negeri asalnya di Kanada. Telah nyata penjajahan moral di negeri tercinta. Masih adakah harapan untuk memutus rantai kejahatan seksual terhadap anak?. Padahal, anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Di tangan merekalah kejayaan negeri ini akan diwujudkan. 

Islam sebagai agama yang sempurna, telah hadir untuk menuntaskan masalah ini. Mengurai benang kusut kejahatan seksual terhadap anak, harus dimulai dengan memperbaiki karakter individu.

Dalam Islam, seseorang harusnya mempunyai visi hidup sebagaimana terdapat di dalam QS.Al Zalzalah ayat 7-8, yang artinya “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat balasannya.” Ayat ini menjelaskan betapa pentingnya pondasi keimanan dan melakukan amal sholih. Karena semua itu kelak akan dihisab di hari akhir. 

Selain individu yang bertakwa, dibutuhkan juga masyarakat yang bertakwa. Sekolah sebagai salah satu bagian dari masyarakat, akan menerapkan sejumlah kebijakan untuk mewujudkan generasi yang baik.

Maka dibutuhkan guru, seluruh staf pendukung, sampai para karyawan yang baik juga. Guru, seluruh staf, sampai karyawannya haruslah orang-orang yang mempunyai ketakutan yang tinggi kepada Al Khaliq, kapanpun dan dimanapun mereka berada. 

Yang terakhir, untuk mewujudkan perlindungan yang paripurna pada seluruh lapisan masyarakat, maka butuh ketegasan dan payung hukum dari negara. Negaralah yang berkuasa untuk melindungi generasi dari berbagai macam kerusakan moral.

Termasuk melindungi generasi dari berbagai konten yang merusak di dunia maya. Jika masih juga terjadi kriminalitas, maka kita bisa meneladani para pemimpin dalam Islam, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib saat menyelesaikan masalah yang sama. 

Sebagaimana ada di dalam buku Sistem Sanksi Dan Hukum Pembuktian Dalam Islam, karya Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur, bab Had Liwath (homoseksual) halaman 52 dituliskan, Baihaki mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau ditanya tentang had pelaku liwath, beliau ra berkata, “Jatuhkanlah dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu tempat, kemudian hujanilah dengan lemparan batu.”

Diriwayatkan dari Ali ra, “Bahwa beliau membunuh pelaku liwath dengan pedang, kemudian membakarnya, karena demikian besar dosanya.” Umar dan Utsman berpendapat, “Pelaku dilempari dengan benda-benda keras sampai mati.” Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had liwath adalah dibunuh, walaupun uslub (cara) pembunuhannya berbeda-beda. 

Kejahatan seksual terhadap anak merupakan kriminalitas yang bisa merusak moral generasi dan menyebabkan dosa yang sangat besar. Lewat kasus grasi ini, kita semua diingatkan, bahwa sudah sangat urgen sekali untuk segera tunduk pada aturan Al Khalik. Aturan sempurna yang sudah terbukti mampu menuntaskan setiap permasalahan. Semoga kita semua bisa menyadari hal ini, segera berbenah diri dan melakukan perubahan totalitas.

Pengirim: Dahlia Kumalasari, Pendidik, tinggal di Jawa Timur

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement