Rabu 24 Jul 2019 05:17 WIB

Luka Pun Menganga

Istriku memang keras kepala, jangankan dirayu lembut, apalagi diperlakukan keras

Luka Pun Menganga
Foto:

Perjalanan mudik amat melelahkan. Dari kota SB di mana kami tinggal menuju pelabuhan penyeberangan hampir tiga malam dua hari. Kendaraan merayap. Hampir di seluruh ruas jalan padat dan macet.

Beberapa kali kami menyaksikan kecelakaan di jalan. Ada adu kambing antara bus dan mobil pribadi mudik. Atau pengendara motor yang tewas di jalan setelah dilindas bus AKAP. Dan, banyak lagi. Ini setiap tahun. Namun, pemudik tetap saja melimpah ruah.

Mudik pada akhirnya selayaknya prosesi ritual keagamaan. Seakan wajib, sementara yang wajib boleh jadi diabaikan. Ah, indahnya mudik. Setahun sekali, persisnya di saat Idul Fitri. Manusia seperti hendak kembali ke kudus, ingin menapak tilas di mana rindu pertama kali dimulai. Ya ibu, ya ayah. Ya keluarga besar.

Dua hari menjelang takbiran kami sampai di rumah mama. Istriku segera meluruk dan memeluk ibunya. Tangis pun pecah. Kulihat Adel hanya terperangah.

Entah apa yang ada di benaknya. Ia hanya memandangi seluruh keluarga. Meski, keluarga istriku seperti tak hirau kehadiran Adel dan aku.

Aku pun hanya diam. Kakak tertua istriku, lelaki, yang dipanggil Adin Angguan membuka rapat terbatas. Intinya, ia mengatakan, anak yang hilang telah pulang. Balung yang berserakan kembali disatukan. Bagaimanapun, kata Adin Angguan, istriku adalah keluarga yang tak bisa begitu saja dibuang ataupun tak diakui.

“Ia juga punya hak yang sama dengan keluarga yang lain. Jika ada warisan papa, misalnya, ia juga tak bisa dilupakan begitu saja,” ujar Adin Angguan kemudian.

Seluruh keluarga diam. Mama menatap Adin Angguan, lalu ke istriku, aku, Adel, dan berpindah ke anak-anaknya yang lain.

“Adinmu benar. Namun, mama sudah putuskan…. semoga ini direstui papamu di alam sana… bahwa tanah dan kebun dari papamu, sudah mama bagikan untuk Mirna, Rus, Mariam, dan adikmu Jodi….”

Suara pun pecah.

“Adinmu sudah banyak mendapat harta dari papa semasa hidup. Jadi, sekarang sudah tidak dapat bagian lagi….”

“Dan, Fitri….” sela Mirna.

“Fitri kan sudah lama nggak pulang. Juga dia memilih teman hidupnya secara sendiri. Jadi….”

Kini istriku yang meraung. Ia tinggalkan segera rapat terbatas itu.

“Mama tidak adil….” Gerutu istriku sebelum pergi.

“Ya, mama tak adil…” lanjut Adin Angguan. “Bagaimanapun Fitri adalah darah daging papa, anak kandung mama….”

“Tapi, ini sudah keputusan mama…”

Soalnya adalah ini. Mengapa Fitri tak mau mudik. Ia merasa sudah tak lagi punya udik atau kampung. Ia keluar dari kamar membawa dua tas koper.

“Kita nginap di hotel saja, Mas!”

Aku diam. Seluruh keluarga menatap istriku dengan tatapan beragam. Namun, tak ada yang bisa mencegah. Seperti mama yang tak mungkin mencabut lagi keputusannya. Luka dalam tubuh istriku pun makin menganga…

TENTANG PENULIS: Isbedy Stiawan ZS. Penulis adalah pegiat sastra. Karyanya sering dimuat berbagai media massa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement