Rabu 24 Jul 2019 05:17 WIB

Luka Pun Menganga

Istriku memang keras kepala, jangankan dirayu lembut, apalagi diperlakukan keras

Luka Pun Menganga
Foto:

Sehari sudah Adel tak berpuasa. Ia menepati ancamannya. Meski aku tak begitu risau, bukankah puasa bagi Adel yang berusia 8 tahun merupakan sarana belajar? Sebulan penuh pun ia menjalani shaum, belum masuk hitungan pahala. Hanya, puasa mesti dilakukan sejak kecil sebagai pembelajaran.

“Apa kamu tega membiarkan Adel tak berpuasa? Padahal, selama ini ia sangat sukacita menjalani puasa. Berpikirkan….” kataku usai makan sahur.

Fitri menatapku. Dalam sekali.

“Mas, tak merasakan apa yang kurasa sih…” kata istriku kemudian.

“Memangnya kenapa? Mana aku tahu karena kau tak memberi tahuku. Seharusnya sebagai suami harus dikasih tahu apa yang dirasa dan dialami istri. Suami istri itu ibarat satu tubuh. Jika kaki luka, tubuh lainnya merasakan sakitnya,” ujarku.

“Seandainya Mas dengar apa yang dikatakan mama. Ah, sudahlah. Aku tak mau mudik karena aku membela, Mas. Aku gak mau Mas Andi dipandang sebelah mata oleh keluargaku. Aku harus bela mati-matian. Bila perlu nyawaku taruhannya….” Balas istriku, kali ini menangis.

Lalu, ia bercerita. Suatu malam, ia menelepon mama. Ia sudah siapkan kebaya dan mukena untuk mama saat shalat Idul Fitri. Namun, mama bukannya berterima kasih.

“Mama hanya bilang, sebaiknya jangan bawakan apa-apa. Suami kamu kan kerjanya tak tentu. Tak pulang pun tak apa-apa, uangnya lebih baik dimanfaatkan yang lain. Buat sekolah Adel dan kebutuhan kita sehari-sehari. Apa aku tak tersinggung mendengar ucapan mama itu?” lanjut Fitri semakin terisak.

“Apa kau sudah jelaskan, kalau aku sudah bekerja tetap. Sudah punya penghasilan. Lagi pula sesekali membawakan oleh-oleh tak akan membuat kita jatuh miskin?” tanyaku.

“Sudah. Sudah kujelaskan. Tapi, tahu sendirilah Mama. Aku sudah hafal dengan tabiat dia…”

“Sstt,” segera kuhentikan apa yang akan diucapkan istriku terhadap orang tuanya. Bagaimanapun mama yang melahirkan kita. Orang tua tak boleh dilawan, biarpun mungkin ia salah dan menyakitkan hati kita. “Sudahlah, maklumi saja. Mama kan sudah tua. Kau masih bersyukur masih punya orang tua….”

Dia diam. Walaupun mukanya tampak masih merajuk, aku terus membujuk. Sampai akhirnya istriku bertekuk. Ia mau bermudik. Namun, ia tak mau menginap di rumah mama. Dia usul bermalam di penginapan atau hotel. Kalau tidak, di rumah salah satu kakaknya. Aku menyetujui.

“Semoga begitu sampai di rumah mama, berubah pikiran,” gumamku.

Adel kembali melanjutkan puasanya setelah bolong dua hari. Senangnya perasaanku, tatkala Adel meminta dibangunkan sahur. Ia kembali melahap makanan yang disaji. Tak lupa pula memutili kurma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement